SIKAP SEORANG MUSLIM TERHADAP HARTA
- Muhammad Basyaib
- 14 Jan 2021
- 23 menit membaca
Diperbarui: 17 Jan 2021

Oleh: Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA
Dipublish: Moeslim Book Central
Topik yang akan kita bahas pada kesempatan kali ini adalah bagaimana sikap seorang muslim terhadap harta. Sesungguhnya kita ketahui bahwa harta adalah suatu perkara yang dibutuhkan oleh manusia dalam menjalani kehidupannya. Terkadang harta itu diberkahi oleh Allah Subhanahu wa ta'ala sehingga mengantarakan seorang muslim tersebut semakin bertakwa kepada Allah Subhanahu wa ta'ala .Dan sebaliknya, sering pula harta membawa seorang muslim untuk semakin jauh dari RabbNya. Oleh karenanya perlu untuk kita ketahui bagaimana sikap yang benar terhadap harta.
Terdapat beberapa hal-hal yang penting terkait dengan menyikapi harta. Di antaranya adalah,
1. Harta secara dzat tidak dicela dan tidak dipuji
Yang perlu diketahui adalah ujian dan celaan dari harta itu kembali kepada pemilik harta tersebut, yaitu bagaimana cara dia menyikapi harta tersebut. Oleh karenanya kita dapati para Nabi dan para Rasul, di antara mereka ada yang kaya raya dan adapula yang miskin. Di antara Nabi-nabi yang kaya adalah Nabi Sulaiman dan Nabi Daud ‘alaihimassalam. Adapun Nabi-nabi yang miskin di antaranya adalah Nabi Isa ‘alaihissalam dan Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam .Jika sekiranya harta itu dipuji dzatnya, maka tentu Allah Azza wa jalla akan menjadikan sluruh para Nabi sebagai orang yang kaya. Dan jika itu tercela pada dzatnya, maka pasti Allah Azza wa jalla akan menjadikan seluruh para Nabi miskin. Akan tetapi kita dapati ada sebagian nabi yang kaya dan adapula sebagian nabi yang miskin. Oleh karenanya ini menunjukkan bahwasanya harta tidak dicela dan dipuji pada dzatnya.
Oleh karenanya sebagaiman harta tidak dicela dan tidak dipuji pada dzatnya, maka demikian juga dengan kemiskinan juga tidak dicela dan tidak dipuji. Jangan sampai kemudian sebagian orang mengira bahwa miskin adalah sebuah hal yang dituntut dalam syariat atau sebaliknya bahwa miskin adalah hal yang dibenci oleh syariat. Akan tetapi celaan dan pujian itu kembali kepada orang yang menjalani kekayaan dan kemiskinan tersebut.
Oleh karenanya kita dapati dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah berlindung terhadap kekayaan dan juga kemiskinan, akan tetapi Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam berlindung dari ftinah kekayaan dan kemiskinan. Di antara hadits tersebut adalah doa Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam,
*“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari rasa malas, kepikunan, terlilit hutang, dan dari kesalahan dan dari fitnah neraka serta siksa neraka, dan dari fitnah kubur dan siksa kubur dan dari buruknya fitnah kekayaan dan dari buruknya fitnah kefakiran serta fitnah Al-Masih AdDajjal.” (Muttafaqqun ‘alaih) HR. Bukhari no. 6375 dan HR. Muslim no. 589*
Doa ini merupakan isyarat dari Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam bahwa pada kekayaan ada fitnah dan pada kemiskinan juga terdapat fitnah.
2. Pujian bukan hanya pada kemiskinan, malinkan kekayaan juga dipuji.
Allah Azza wa jalla berfirman di dalam Alquran, “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Anbiya’ : 35)
Sebagian ahli tafsir menyatakan bahwa di antara ujian yang berupa keburukan adalah ujian dengan kemiskinan, kekurangan, sakit, dan musibah; adapun ujian berupa kebaikan yaitu dengan kekayaan, kesehatan, kenikmatan, dan anugerah dari Allah Azza wa jalla. Dalam ayat di atas, seakan-akan Allah mengabarkan bahwa semua manusia yang hidup akan mati, dan sesungguhnya apa yang kita hadapai baik itu berupa kesulitan dan kemudahan, kesempitan dan kelapangan, dan kemiskinan dan kekayaan merupakan ujian yang kita akan dikembalikan kepada Allah Azza wa jalla dan akan dimintai pertanggungjawaban terkait sikap kita menghadapi ujian tersebut.
Oleh karenanya Umar bin Khattab dalam sebuah pertakaannya yang indah mengatakan, .
“Kekayaan dan kemiskinan adalah dua tunggangan (yang pasti akan ditunggangi salah satunya –pent), dan aku tidak peduli yang mana aku tunggangi. Kemiskinan dan kekayaan hanyalah ujian dari Allah Azza wa jalla kepada hambaNya.”
Oleh karenanya pemahaman sebagian orang yang menganggap bahwasanya ujian itu hanyalah berupa kemiskinan dan kekayaan bukanlah ujian adalah pemahaman yang keliaru. Dan dalam hal ini Allah Azza wa jalla membantah anggapan tersebut melalui firmanNya di dalam Alquran,
“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku”. Sekali-kali tidak (demikian).” (QS. Al-Fajr : 15-16)
Dari sini kemudian kita menyampaikan pembahasan yang sering disampaikan oleh para ulama, yaitu manakah yang lebih utama antara orang kaya yang bersyukur dengan orang miskin yang bersabar? Kata para ulama di antaranya adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan bahwa yang paling afdhal (utama) di antara keduanya adalah yang paling bertakwa, sebagaimana firman Allah Azza wa jalla,
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.” (QS. Al-Hujurat : 13)
Jika seseorang dengan kekayaannya menjadi seseorang yang bersyukur, rajin beribadah kepada Allah Azza wa jalla ,maka dia telah mencapai derajat takwa yang lebih tinggi daripada seorang yang miskin bersabar, maka dia lebih utama di sisi Allah Azza wa jalla .Dan demikian pula sebaliknya, jika seorang yang miskin mencapai derajat takwa tertinggi dengan kesabarannya melebih daripada orang kaya yang bersyukur maka dia lebih utama di sisi Allah Azza wa jalla.
Akan tetapi tatkala kita disuruh memilih menjadi orang kaya yang bersyukur atau miskin yang bersabar, maka pasti kita akan memilih menjadi orang kaya yang bersyukur. Akan tetapi ketahuilah bahwa kebanyak orang diuji dengan kekayaan tidak lulus, dan sebaliknya kebanyakan orang yang diuji dengan kemiskinan bisa lulus. Oleh karenanya tatkala Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam melihat penghuni surga, beliau melihat kebanyak penghuninya adalah orang-orang miskin. Maka jika Anda adalah orang yang miskin, bersyukurlah kepada Allah Azza wa jalla ,karena bisa jadi kemiskinan itu mengantarkan Anda surga Allah Azza wa jalla.
Kenyataannya, kesabaran seseorang menghadapi kemiskinan itu lebih mudah daripada kesabaran seseorang menghadapi kekayaan. Dan ini telah diisyaratkan dalam hadits-hadits Nabi dan juga firman Allah Azza wa jalla .Di antaranya adalah firman Allah,
“Dan sesungguhnya dia (manusia) sangat bakhil karena cintanya kepada harta.” (QS. Al-‘Adiyat : 8) ًّ
“Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” (QS. Al-Fajr : 20)
Cinta terhadap harta adalah ssifat manusiawi. Dan kita sadari bahwa harta itu manis, sehingga terkadang seseorang rela bekerja 24 jam sehari hanya untuk meraih harta. Dan apabila seseorang telah mersakan manisnya harta, maka dia akan semakin terdorong untuk terus mencari harta.
Dan Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam telah mengingatkan bahwa fitnahnya umat ini adalah harta. Dalam sebuah hadits beliau Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya setiap ummat itu memiliki fitnah dan fitnah ummatku adalah harta.” (HR. Tirmidzi no. 2336)
Dalam hadits yang lain Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Sungguh demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan dari kalian. Akan tetapi yang aku khawatirkan atas kalian adalah bila kalian telah dibukakan (harta) dunia sebagaimana telah dibukakan kepada orang-orang sebelum kalian lalu kalian berlomba-lomba untuk memperebutkannya sebagaimana mereka berlomba-lomba untuk memperebutkannya, sehingga akhirnya harta dunia itu membinasakan kalian sebagaimana telah membinasakan mereka.” (HR. Bukhari no. 3158)
Ketahuilah bahwa betapa banyak pertikaian dan permusuhan yang terjadi antara saudara, kerabat, bahkan seorang anak dan orang tuanya, yang disebabkan karena masalah harta. Ini adalah kenyataan yang ada. Karena hasad, cemburu, persaingan dalam bisnis,
Sebagaimana telah kita sebutkan bahwa harta itu manis, akhirnya kita dapati fenomena yang sangat menyedihkan. Ada sebagian orang yang dahulu rela meninggalkan pekerjaan haramnya demi Allah, kemudian menjalani kehidupan dengan hidup paspasan karena Allah Azza wa jalla .Akan tetapi sering berjalannya waktu, dia akhirnya terfitnah dengan dunia, sehingga akhirnya dia kembali mencari harta dengan cara-cara yang haram setelah dia mampu bersabar atas apa yang dia tinggalkan sebelumnya. Sungguh ini adalah sebuah fenomena yang sangat menyedihkan. Oleh karenanya harta adalah tetap menjadi fitnah yang sangat besar bagi umat ini.
Oleh karenanya sebagaimana telah kita katakan bahwa banyak orang lulus tatkala diuji dengan kemiskinan, dan sedikit yang bisa lulus tatkala diuji dengan kekayaan. Hal ini dikarenakan kecintaan seseorang terhadap harta. Bahkan betapa banyak orang yang akhirnya menjadi penyembah harta sebagaimana telah diisyaratkan oleh Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam dalam haditsnya, "Binasalah hamba dinar, dirham, hamba pakaian, jika diberi maka ia ridha jika tidak diberi maka ia mencela.” (HR. Bukhari no. 2887)
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam ingin mengatkan bahwa ada orangorang yang benar-benar menyembah harta, sehingga seluruh tindak tanduknya itu karena harta, kecintaan dan permusuhan dibangun di atas harta, bahkan mungkin keharaman rela dia lakukan demi untuk meraih harta. Dan orang yang seperti ini itu ada. Dan ketahuilah bahwa tatkala seseorang telah mendapatkan harta, maka terkadang bahkan seringnya mereka menjadi angkuh. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Allah Azza wa jalla dalam firmanNya,
“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas (zalim), karena dia melihat dirinya serba cukup (kaya).” (QS. Al-‘Alaq : 6-7)
Oleh karenanya inilah sebab mengapa seseorang mudah untuk masuk ke dalam neraka karena harta, mereka tidak sabar dan tidak lulus dari fitnah dan ujian harta, karena tatkala harta mereka telah miliki maka mereka pun mereka angkuh dan merasa hebat serta merasa tidak butuh kepada orang lain sehingga akhirnya yang terjadi adalah kezaliman atau perendahan terhada orang lain. Dan ini semua adalah tabiat manusia, dan jika hal tersebut tidak dilawan dengan ayat-ayat dan hadits-hadits, maka orang yang memilii harta yang banyak akan terbawa kepada sikap keangkuhan dan menzalimi orang lain, kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Allah Azza wa jalla.
3. Ingatlah, bahwa memburu harta adalah sesuatu yang tidak akan pernah selesai dan tidak ada tujuan yang bisa dicapai.
Seorang manusia yang mencari harta, dia akan senantiasa haus untuk meraih harta sebanyakbanyaknya. Dan ini telah ditegaskan oleh Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam AlBukhari dan Imam Muslim. Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Sekiranya anak Adam memiliki harta sebanyak dua bukit (dalam riwayat yang lain: dua bukit bukit emas *HR. Al-Bazzar no. 4433* ), niscaya ia akan mencari untuk mendapatkan bukit yang ketiga, dan tidaklah perut anak Adam itu puas kecuali jika telah dipenuhi dengan tanah, dan Allah menerima taubat siapa saja yang bertaubat.” (Muttafaqun ‘alaih)* HR. Bukhari no. 6463 dan HR. Muslim no. 1048*
Dan Allah Azza wa jalla telah menegaskan hal yang sama dalam firmanNya,
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (QS. At-Takatsur : 1-2)
Oleh karenanya kita dapati ada orang yang sudah tua rentan, akan tetapi masih sibuk memikirkan harta, padahal dia telah kaya raya dan usianya mungkin telah mencapai usian 70 tahun dimana seharusnya dia menikmati harta yang dia miliki, akan tetapi dia masih pusing. Akhirnya terkadang orang yang demikian tidak merasakan nikmatnya harta yang dia miliki tersebut, akan tetapi dia merasakan nikmat tatkala bisa mengumpulkan harta tersebut. Maka ingatlah bahwa harta itu manis, semakin dicicipi maka akan semakin mendorong orang yang mencicipinya untuk terus mencarinya, dan dia tidak akan berhenti ketika dia telah meninggal dunia dan dikuburkan ke dalam tanah.
Oleh karenanya tatkala seseorang telah mengetahui bahwa pencarian harta tidak akan ada ujungnya, maka hendakanya dia memberikan batasan pada pencariannya tersebut. Sehingga jika ada sisa harta yang dia miliki, dia bisa menginfakkannya di jalan Allah Azza wa jalla.
4. Tatkala seseorang tergiru untuk merasakan manisnya dunia, dia harus sadar bahwa manisnya dunia tidak ada bandingannya dengan manisnya akhirat.
Harta di dunia ini tidak ada bandingannya dengan kenikmatan di akhirat. Dan ketahuilah bahwa harta di sisi Allah Azza wa jalla tidaklah bernilai kecuali harta tersebut digunakan untuk bertakwa kepada Allah Azza wa jalla .Dalam sebuah hadits Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, َ“Seandainya dunia itu di sisi Allah sebanding dengan sayap nyamuk, tentu Allah tidak mau memberi orang orang kafir walaupun hanya seteguk air.” (HR. Tirmidzi no. 2320)
Maksud hadits ini adalah dunia ini tidak ada nilainya. Bahkan Allah Azza wa jalla dan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam memberi gambaran bahwasanya dunia ini tidak memiliki nilai meskipun hanya seperti sayap seekor nyamuk. Maka jika sekiranya dunia ini ada nilainya, maka Allah Azza wa jalla tidak akan memberikan dunia kepada orang kafir karena Allah Azza wa jalla pasti hanya akan memberikan dunia kepada orang yang beriman dan bertakwa, agar dengan dunai tersebut mereka orang-orang beriman bisa beribadah kepada Allah Azza wa jalla .Akan tetapi tatkala diterangkan bahwa dunia itu tidak ada nilainya, maka Allah Azza wa jalla memberikan dunia ula kepada orang kafir. Oleh karenanya jangan sampai ada di antara kita yang terbetik dalam hatinya bahwa mengapa orang-orang kafir dan orang-orang yang bermaksiat kepada Allah hidupnya kaya raya sedangkan orang-orang yang beriman kebanyakan hidup miskin. Karena sesungguhnya jika dunia ini memiliki nilai, maka Allah tidak akan berikan kepada orang-orang kafir dan orang-orang yang bermaksiat kepada Allah. Akan tetapi karena dunia ini tidak ada nilainya, maka Allah juga berikan dunia kepada orang-orang kafir.
Maka dari itu tidak bisa kita membandingkan antara kenikmatan dunia dan kenikmatan akhirat. Ketahuilah bahwa dunia sifatnya sementara, dan kenikmatan dunia itu memiliki tiga sifat, pertama adalah kenikmatannya seidkit; kedua adalah kenikmatannya sementara; ketiga adalah adalah kenikmatannya tidak sempurna dan tercampur hal-hal yang bisa merusak kelezatan nikmat tersebut. Sedangkan kenikmatan akhirat berbeda, sifatnya yang pertama adalah kenikmatannya sangat banyak; kedua adalah kenikmatannya kekal abadi; ketiga adalah kenikmatannya penuh dengan kesempurnaan. Oleh karenanya ini menunjukkan bahwa kenikmatan dunia tidak dapat dibandingkan dengan kenikmatan akhirat.
Dari sini, tatkala kita mencari harta, jangan letakkan harta itu di hati kita, akan tetapi kita letakkan harta tersebut di tangan kita yang bisa kita gunakan untuk bertakwa kepada Allah. Ingatlah bahwa harta itu bukan tujuan, melainkan harta itu hanyalah sarana. Oleh karenanya Allah Azza wa jalla menegaskan, “Dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi.” (QS. Al-Qashash : 77)
Ayat ini menegaskan bahwa harta itu boleh untuk dimiliki, akan tetapi dia bukanlah tujuan meliankan sebagai sarana. Imam Asy-Syafi’i mengatakan, ُSesungguhnya ada di antara hamba-hamba Allah yang ”cerdas", mereka mencari dunia dan khawatir terhadap fitnah
Mereka melihat kepada dunia, maka mereka sadari bahwa ”dunia" itu bukan tempat hidup selama-lamanya.
Maka mereka menjadikan dunia seperti lautan, dan “ ”menjadikan amal shalih di dunia sebagai perahu.
Maka ingatlah bahwa dunia itu adalah sarana yang bisa mengantarkan seseorang menuju akhirat, dan bukan sebagai tujuan. Meskipun demikian, kebanyakan manusia beriman dengan apa yang mereka lihat. Sehingga tatkala berbicara tentang surga, mereka tidak tahu karena mereka belum pernah melihatnya. Karena keimanan mereka tergantung dengan apa yang mereka lihat, maka jadilah mereka orang-orang yang seperti Allah firmankan,
“Tetapi kamu memilih kehidupan duniawi, sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al-A’la : 16-17)
Akan tetapi Allah Azza wa jalla tidak akan menampakkan satu kenikmatan akhirat pun di muka bumi ini sebagaimana firmanNya,
“Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan.” (QS. As-Sajdah : 17)
Oleh karenanya tatkala Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan bahwa shalat berjamaah itu 27 derajat lebih besar daripada shalat senidiran, maka kita katakan bahwa kalau sekiranya pahala shalat berjamaah itu diperlihatkan oleh Allah Azza wa jalla ,maka semua orang akan shalat berjamaah, akan tetapi Allah tidak akan menampakkan itu semua. Sehingga kebanyakan di antara kita hanya beriman kepada apa yang kita lihat dan tidak yakin dengan janji-janji Allah Azza wa jalla ,sehingga akhirnya kita mendahulukan dunia daripada akhirat, padahal akhirat lebih baik daripada dunia.
5. Harta seseorang merupakan titipan Allah dan bukan milik seseorang secara mutlak. Harta yang kita miliki dan seluruh kenikmatan yang kita miliki hakikatnya dari Allah dan milik Allah, dan kita hanya menjadi tempat dititipnya nikmat tersebut. Allah Azza wa jalla berfirman,
“Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS. Al-Jatsiyah : 13)
Ayat ini menjadi dalil bahwa seluruh harta adalah milik Allah, dan Allah-lah yang memberikannya kepada kita. Sehingga semua itu adalah titipan. Dalam ayat yang lain Allah Azza wa jalla berfirman,
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” (QS. Al-Hadid : 7)
Allah-lah yang menjadikan kita dapat memiliki harta, akan tetapi pemilik yang sesungguhnya adalah Allah Azza wa jalla Dalam ayat yang lain Allah Azza wa jalla lebih jelas menegaskan,
“Dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu.” (QS. An-Nur : 33)
Di dalam ayat ini, harta itu langsung disandarkan kepada Allah yang menunjukkan bahwa sejatinya harta itu milik Allah Azza wa jalla.
Perkara ini -yaitu keyakinan bahwa segala harta adalah milik Allah Azza wa jalla -telah dipahami oleh para sahabat. Bahkan dalam sebuah riwayat menjelaskan bahwa orang Arab badui pun paham akan perkara ini. Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau berkata,
“Saya berjalan bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, ketika itu beliau mengenakan kain (selendang –pent) Najran yang kasar ujungnya, lalu ada seorang Arab badui yang menemui beliau. Maka ditariknya kain Rasulullah dengan kuat hingga saya melihat permukaan bahu beliau membekas lantaran ujung selimut akibat tarikan Arab badui yang kasar. Arab badui tersebut berkata; “Wahai Muhammad, berikan kepadaku dari harta yang diberikan Allah padamu”, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menoleh kepadanya diiringi senyum serta menyuruh salah seorang sahabat untuk memberikan sesuatu kepadanya.” (HR. Bukhari no. 5809)
Oleh karenanya dari sini saya ingin jelaskan bahwasanya harta yang kita miliki adalah titipan dari Allah Azza wa jalla dan bukan milik kita secara mutlak. Bukti akan hal ini sangat jelas tatkala kita tertimpa musibah, yaitu tatkala kita mengucapkan “Inna lillahi wa inna Ilaihi roji’un”. Kalimat ini mengandung keyakinan bahwa kita ini semua adalah milik Allah, dan akan kembali kepada Allah Azza wa jalla .Maka tatkala ada orang yang mengingkari akan hal ini –yaitu dia mendapatkan harta karena kelebihan dan kecerdasannya-, maka hal tersebut adalah kesalahan. Kita harus sadar bahwa kita hanya melakukan sebab, akan tetapi Allah-lah yang memberikan harta tersebut kepada kita, sehingga usaha kita bukanlah kunci datangnya rezeki melainkan Allah-lah yang menentukan adanya rezeki atau tidak. Oleh karenanya tidak ada ahli matematika yang mengatakan bahwasanya kecerdasan berbanding lurus dengan kecerdasan. Tidak berarti orang yang kaya itu lebih pintar daripada orang miskin, karena sekali lagi bahwa rezeki itu dari Allah Azza wa jalla .Kita dapati ada orang yang bergelar professor atau doktor, akan tetapi dia miskin. Sedangkan di sisi lain kita dapati ada orang yang tidak sekolah namun kaya raya. Oleh karenanya kecerdasan tidak berbanding lurus dengan kekayaan.
Yang ingin kita tegaskan disini adalah harta itu adalah milik Allah, dan Allah-lah yang mengatur bagaimana harta tersebut bisa sampai kepada kita. Kita hanya menjalankan sebab, namun bukanlah kecerdasaan kita yang mengharuskan harta tersebut datang. Oleh karenanya tatkala Qarun dengan begitu bangganya memiliki harta yang begitu banyak, dia bersikap sombong. Sampai-sampai Allah Azza wa jalla mengabadikan perkataannya tersebut di dalam Alquran. Allah Azza wa jalla berfirman,
“Qarun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosadosa mereka.” (QS. Al-Qashash : 78)
Qarun lupa bahwa sesungguhnya Allah-lah yang memberikan harta itu kepadanya, dan bukan karena ilmu dan kecerdasannya. Demikian juga kisah tentang tiga orang dari Bani Israil yang memiliki penyakit baros, kudis dan buta. Kemudian datanglah malaikat menyembuhkan penyakit mereka dan berdoa kepada Allah sehingga mereka memiliki harta yang banyak. Setelah mereka sembuh, malaikat tersebut datang kepada mereka pada waktu yang lain dalam kondisi sebagaimana tiga orang Bani Israil ini sebelumnya (memiliki penyakit). Tatkala malaikat datang kepada orang yang buta dan ditanya tentang harta yang ia dapatkan, maka orang buta tersebut mengatakan bahwa harta itu dari Allah Azza wa jalla .Akan tetapi tatkala malaikat mendatangi orang yang memiliki penyakit kudis dan baros (albino) dan bertanya kepada mereka tentang harta yang mereka miliki, maka mereka menjawab, “Sesungguhnya aku mewarisi harta ini dari nenek moyangku yang kaya.” (HR. Muslim no. 2964)
Inilah sebagian kisah orang-orang yang kufur kepada nikmat Allah Azza wa jalla ,dan orang-orang seperti ini dicela oleh Allah Azza wa jalla.
Oleh karenanya perkara yang semakin menunjukkan bahwa harta itu hakikatnya bukan milik kita melainkan milik Allah Azza wa jalla adalah tatkala kita meninggal dunia, maka harta kitapun langsung masuk dalam hukum Allah Azza wa jalla (hukum waris). Di antara dalil bahwasanya harta itu bukan milik kita adalah kenikmatan yang kita dapatkan tidak bisa kita salurkan tanpa aturan. Tatkala kita merasa bahwa harta adalah titipan dari Allah Azza wa jalla ,maka kita harusnya sadar bahwa tatkala kita bermuamalah dengan titipan tersebut, maka harus sesuai dengan aturan yang memberikan titipan. Contohnya adalah jasad kita, ketahuilah bahwa jasad kita ini adalah nikmat dari Allah Azza wa jalla .Akan tetapi tidak boleh seseorang merusak jasadnya dengan seenaknya. Dan ingatlah bahwa setiap nikmat itu akan dipertanggungjawabkan kelak. Dan Allah Azza wa jalla telah berfirman,
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.” (QS. An-Nahl : 53)
“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. At-Takatsur : 8)
Oleh karenanya jika ada orang yang merusak tubuhnya hingga meninggal dunia, maka dia akan diazab oleh Allah Azza wa jalla .Dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa menjatuhkan diri dari gunung, hingga membunuh jiwanya (bunuh diri), maka ia akan jatuh ke neraka jahannam secara terus menerus, ia kekal serta abadi di dalamnya selama-lamanya. Barangsiapa menegak racun, hingga meninggal dunia, maka racun tersebut akan berada di tangannya, dan ia akan menegaknya di neraka jahannam, ia kekal serta abadi di dalamnya selama-lamanya. Dan barang siapa bunuh diri dengan (menusuk dirinya dengan) besi, maka besi itu akan ada di tangannya, dengannya ia akan menghujamkan ke perutnya di neraka jahannam, ia kekal dan abadi di dalamnya selama-lamanya.” (HR. Bukhari no. 5778)
Oleh karenanya tatkala seseorang mengetahui bahwa titipan harta tersebut dari Allah Azza wa jalla, maka seseorang mengelola titipan tersebut dengan aturan Allah Azza wa jalla. Aturannya pun sangat mudah, karena ada dua pertanyaan yang akan Allah Azza wa jalla tanyakan kepada seseorang dari setiap harta yang dimiliki. Pertanyaan tersebut adalah dari mana harta itu didapakan dan kemanakan harta itu dibelanjakan (digunakan). Pertanyaan pertama –yaitu dari mana harta didapatkan- ini telah banyak membinasakan banyak orang. Allah akan bertanya secara detil tentang harta yang kita miliki, apakah itu semua didapatkan dengan cara yang halal atau haram, atau bahkan dari perkara yang syubhat. Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Azza wa jalla tahu dari mana asal semua harta kita. Maka betapa banyak orang yang akan binasa tatkala Allah Azza wa jalla bertanya tentang dari mana harta itu didapatkan, dan orang-orang tatkala itu tidak bisa menjawab. Kalaupun sekiranya harta yang kita dapatkan halal sepnuhnya dan disertai dengan bukti-bukti, maka pertanyaan selanjutnya adalah dimanakah harta itu dihabiskan. Sungguh pertanyaan kedua ini juga sangat sulit dan tidak jauh lebih mudah dari pertanyaan pertama. Kita akan ditanya kelak tentang kemakah harta itu dihabiskan, apakah dihabiskan dengan berfoya-foya? Ataukah dihabiskan untuk membeli barang yang tidak berguna? Ataukah digunakan untuk membeli barang-barang mewah untuk angkuh dan sombong? Ataukah dihabiskan di jalan Allah Azza wa jalla ? Sungguh ini adalah pertanyaan yang berat yang akan ditujukan kepada setiap diri kita.
Oleh karenanya tatkala kita menyadari bahwa harta kita itu adalah titipan dari Allah Azza wa jalla ,maka gunakan dengan syarat kita bisa menjawab pertanayaan Allah Azza wa jalla pada hari kiamat kelak, yaitu dari mana didapatkan dan kemana harta tersbeut dibelanjakan.
6. Syariat tidak menganjurkan kita miskin dan meninggalkan mencari harta.
Ingatlah bahwa Allah Azza wa jalla telah berfirman, “Dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi.” (QS. Al-Qashash : 77)
Dunia itu harus ada, dan tidak mungkin kita bisa menuju akhirat tanpa melalui dunia. Dunia harus kita miliki sebagai sarana untuk menantarkan kita kepada akhirat.
Oleh karenanya terlalu banyak ayat yang menyebutkan tentang karunia Allah Azza wa jalla terhadap manusia dengan harta yang Allah anugerahkan kepada manusia. Di antaranya adalah firman Allah, “Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah : 29)
Ayat ini menunjukkan bahwasanya Allah Azza wa jalla telah memberikan karunia dalam rangka untuk memuji dan bersyukur kepada Allah Azza wa jalla .Maka jika sekiranya mengambil harta adalah sesuatu yang terhina, maka Allah Azza wa jalla tidak akan memuji diriNya dengan menyebutkan karunia yang Dia berikan kepada manusia. Karena pemberian Allah Azza wa jalla kepada hambahambaNya adalah karunia.
Dalam ayat yang lain Allah Azza wa jalla juga berfirman,
“Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya.” (QS. An-Nahl : 8)
Dan Allah Azza wa jalla melarang orang-orang yang mengharam-haramkan karunia Allah Azza wa jalla. Allah Azza wa jalla berfirman, َ“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hambahamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat”. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS. Al-A’raf : 32)
Dijelaskan oleh para ulama di antaranya adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimyah rahimahullah, bahwa seluruh harta dan nikmat yang Allah ciptakan asalnya untuk orang yang beriman. Mahfum mukhalaf dari ayat ini kata para ulama, bahwa harta dan kenikmatan itu pada dasarnya haram bagi orang kafir. Oleh karenanya setiap kenikmatan dan harta yang mereka cicipi di dunia ini akan diazab oleh Allah Azza wa jalla .Allah Azza wa jalla berfirman, “Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (kepada mereka dikatakan): ‘Kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini kamu dibalasi dengan azab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan karena kamu telah fasik’.” (QS. Al-Ahqaf : 20)
Berbeda dengan orang yang beriman, Allah Azza wa jalla berikan kenikmatan dan tidak memberikan azab kelak di akhirat karena mereka telah menggunakannya di dunia dengan tepat. Adapun orang kafir, setiap nikmat yang mereka rasakan akan dibalas dengan azab karena kenikmatan yang mereka dapatkan digunakan untuk beribadah kepada selain Allah Azza wa jalla.
Dalam ayat lain, Allah Azza wa jalla bahkan memerintahkan untuk mencari karnuianya. Allah Azza wa jalla berfirman, “Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk : 15)
Dari ayat ini semakin menegaskan bahwa Allah Azza wa jalla tidak melarang seseorang mencari harta, melainkan sebagai motivasi seseorang untuk mencari harta. Hanya saja perlu untuk diingat bahwa kita akan dikembalikan kepada Allah Azza wa jalla.
Dalam ayat yang lain Allah Azza wa jalla juga berfirman, “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jum’ah : 10)
Dalam sebagian ayat yang lain, Allah Azza wa jalla seakanakan memancing kita untuk berusaha mencari kenikmatannya. Allah Azza wa jalla berfirman, ً
“Dan Dialah Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.” (QS. AnNahl : 14)
Dalam ayat ini, kata (istikhraj) maknanya membutuhkan usaha. Sehingga ayat ini mengisyaratkan bahwa ada usaha dalam mencari karunia Allah Azza wa jalla.
Dan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam mencela orang-orang yang meminta-minta. Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Sungguh, seorang dari kalian yang memanggul kayu bakar dan dipikul di punggungnya, itu lebih baik baginya daripada dia meminta kepada orang lain, baik orang lain itu memberinya atau menolaknya.” (HR. Bukhari no. 2074)
Bahkan dalam suatu hadits mekanjubkan yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad, Imam Ahmad, dan Abu Daud, dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, َّ“Apabila hari kiamat hendak ditegakkan, dan di tangan seseorang masih terdapat fashilah *Sebagian ahli hadits mengatakan bahwa makna fashilah adalah benih kurma untuk ditanam.*, maka jika ia mampu menanamnya sebelum hari kiamat maka tanamlah.” *HR. Bukhari no. 479 dalam Al-Adabul Mufrad*
Ini adalah gambaran yang luar biasa dari Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam tentang bagaimana agar seseorang senantiasa berusaha dan tidak pasrah.
Dari sini kita pahami bahwasanya tidak mengapa seseorang mencari harta, bahkan dalil-dali di atas merupakan dalil anjuran untuk berusaha. Terlebih lagi kalau harta yang kita miliki tersebut kita gunakan untuk dakwah di jalan Allah Azza wa jalla ,pendidikan Islam, membangun masjid, dan sarana prasarana yang menunjang kegiatas umat Islam, maka tentu pahalanya sangat luar biasa.
7. Keutamaan orang kaya.
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda yang disebutkan dalam hadits yang sahih, “Sebaik-baik harta adalah harta yang dimiliki oleh hamba yang salih (baik).” (HR. Ahmad no. 17798)
Jika harta dimiliki oleh orang salih, maka itulah sebaik-baik harta. Alasannya adalah karena orang tersebut akan menyalurkan hartanya kepada hal-hal yang dicintai oleh Allah Azza wa jalla.
Terlalu banyak dalil-dalil baik dari Alquran dan sunnah yang memerintahkan seseorang untuk berinfaq. Dan anjuran berinfaq tersebut secara otomatis menunjukkan bahwa pentingnya untuk menjadi orang kaya, karena jika seseorang tidak kaya, maka bagaimana bisa dia berinfaq? Di antara firman Allah Azza wa jalla yang memerintahkan untuk berinfaq antara lain, “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah : 261)
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. At-Taubah : 41)
Kebanyakan ayat di dalam Alquran tatkala menyebutkan tentang jihad, Allah Azza wa jalla mendahulukan penyebutan jihad dengan harta daripada jihad dengan jiwa (diri), kecuali hanya sedikit ayat yang didahulukan penyebutan jihad dengan jiwa daripada jihad dengan harta. Tidak setiap saat seseorang bisa berjihad dengan jiwanya, akan tetapi berjihad dengan harta bisa dilakukan setiap saat oleh seseorang.
Oleh karenanya tidak heran kalau Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda,
“Tidak boleh mendengki kecuali terhadap dua hal; (terhadap) seorang yang Allah berikan harta lalu dia pergunakan harta tersebut di jalan kebenaran dan seseorang yang Allah berikan hikmah lalu dia mengamalkan dan mengajarkannya kepada orang lain.” (HR. Bukhari no. 73)
Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan bahwa hanya kepada dua jenis orang inilah yang boleh kita hasad kepadanya, yaitu orang yang berilmu dan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah. Ketahuilah bahwa dakwah ini tidak mungkin berjalan dengan baik kecuali dengan adanya dua model orang ini. Oleh karenanya Allah Azza wa jalla dengan hikmahNya, tatkala Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam memulai dakwahnya, maka Allah Azza wa jalla menikahkan Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam dengan Khadijah radhiallahu ‘anhu yang kaya raya, sehingga akhirnya harta yang dimiliki Khadijah diberikan seluruhnya kepada Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam untuk berdakwah, sampai-sampai Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam mengatakakan, ُ“Dan dia (Khadijah) membantuku dengan hartanya tatkala manusia menutup diri dariku (tidak membantuku).” (HR. Ahmad no. 24908)
Dan di antara hikmah Allah Azza wa jalla juga adalah diawal dakwah Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam, yaitu yang pertama kali masuk Islam adalah Abu Bakar radhiallahu ‘anhu seorang saudagar yang kaya raya, yang membeli para budak yang disiksa termasuk Bilal bin Rabbah untuk dibebaskan. Oleh karenanya masalah harta bukanlah hal yang disepelakan, karena kepada merekalah –yaitu orang-orang yang membelanjakan hartanya di jalan Allah-- seseorang boleh hasad.
Orang yang memilki harta dan digunakan di jalan Allah Azza wa jalla ,maka dia akan banyak pahala yang akan dia raih dengan harta yang dia infakkan tersebut. Oleh karenanya disebutkan bahwa para sahabat dari kalangan fuqara’ Muhajirin cemburu kepada sahabat Anshar yang kaya raya. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, “Orang-orang fakir Muhajirin datang menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sambil berkata; “Orang-orang kaya telah memborong derajat-derajat ketinggian dan kenikmatan yang abadi.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya: “Apa maksud kalian?” Mereka menjawab: “Orang-orang kaya shalat sebagaimana kami shalat, dan mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, namun mereka bersedekah dan kami tidak bisa melakukannya, mereka bisa membebaskan budak dan kami tidak bisa melakukannya.” Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Maukah aku ajarkan kepada kalian sesuatu yang karenanya kalian bisa menyusul orangorang yang mendahului kebaikan kalian, dan kalian bisa mendahului kebaikan orang-orang sesudah kalian, dan tak seorang pun lebih utama daripada kalian selain yang berbuat seperti yang kalian lakukan?” Mereka menjawab; “Tentu, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Kalian bertasbih, bertakbir, dan bertahmid setiap habis shalat sebanyak tiga puluh tiga kali.” Abu shalih berkata; “Tidak lama kemudian para fuqara’ Muhajirin kembali ke Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata; “Ternyata temanteman kami yang banyak harta telah mendengar yang kami kerjakan, lalu mereka mengerjakan seperti itu” Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Itu adalah keutamaan Allah yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.” (Muttafaqun ‘alaih) *HR. Bukhari no. 843 dan HR. Muslim no. 595, dengan lafadz Imam Muslim*
Lihatlah bagaimana semangatnya para sahabat berlomba-lomba dalam beramal salih. Mereka tidak cemburu kepada orang-orang kaya karena kekayaannya, akan tetapi karena orang-orang kaya bisa mendapatkan pahala yang tidak bisa didapatkan oleh para fuqara Muhajirin. Oleh karenanya orang yang memiliki harta yang banyak dan benar-benar dia gunakan di jalan Allah Azza wa jalla ,maka dia bisa memborong pahala yang banyak di sisi Allah Azza wa jalla. Dan ingatlah pula bahwa Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, َّ“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia (lainnya).” (Shahihul Jami’ no. 3289)
Dalam hadits yang lain Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam mengatakan, ٌ “Orang yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Dan amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah rasa senang (kebahagiaan) yang engkau masukkan kedalam seorang muslim, atau menghilangkan kesulitannya, atau melunaskan hutang-hutangnya, atau menghilangkan rasa laparnya.” (HR. Thabrani no. 861 dalam Mu’jam Ash-Shaghir)
8. Barangsiapa yang berinfak di jalan Allah Azza wa jalla , maka Allah Azza wa jalla akan menambahkan rezekinya.
Allah berfirman dalam hadits qudsi, ْ“Berinfaklah wahai anak cucu Adam, niscaya Aku akan berinfak kepadamu (memberi ganti).” (Muttafaqun ‘alaih) *HR. Bukhari no. 5352 dan HR. Muslim no. 993*
Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda, “Sedekah itu tidak akan mengurangi harta.” (HR. Muslim no. 2588)
Tentu dalam perkara ini memerlukan keimanan. Oleh karenanya Allah Azza wa jalla mencela sifat pelit. Dan kalau kita perhatikan, di dunia ini orang Islam kaya itu banyak, akan tetapi yang pelit juga banyak. Oleh karenanya Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Dan tidak akan berkumpul sikap kikir dan keimanan dalam hati seorang hamba selamanya.” (HR. An-Nasa’i no. 3110)
Maka seseorang yang pelit dengan hartanya menunjukkan bahwa imannya terhadap hari akhirat tidak beres. Karena meskipun Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam telah mengatakan, “Sedekah itu tidak akan mengurangi harta”, mereka tetap tidak yakin sehingga mereka hanya menyimpan-nyimpan harta karena rasa pelit.
Oleh karenanya yang mengkhawatirkan bagi kita adalah banyaknya orang-orang kaya namun pelit. Dan karena hal ini pula ada seorang ahli ilmu yang menulis kitab berjudul Al-Bukhala’, yaitu kitab yang menceritakan kisah orang-orang pelit.
Oleh karenanya cabalah lihat bagaimana dermawannya para sahabat. Contohnya adalah Abdurrahman bin ‘Auf radhiallahu ‘anhu, yang pernah menangis karena takut hartanya menghalanginya masuk surga, padahal Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam telah mengatakan bahwa dia termasuk penghuni surga. Akan tetapi beliau menangi karena takut terlambat masuk ke dalam surga karena hisab yang begitu banyak atas hartanya, sementara sahabatsahabatnya yang lain telah masuk terlebih dahulu. Kita tahu bahwa Abdurrahman bin ‘Auf adalah seorang saudagar kayak yang datang dari Mekkah ke Madinah dalam keadaan miskin. Tatkala dipersaudarkan oleh Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam dengan Sa’ad bin Rabi’, ia ditawarkan separuh dari harta Sa’ad bin Rabi’, akan tetapi Abdurrahman bin ‘Auf memilih untuk ditunjukkan pasar agar ia bisa berdagang. Akhirnya Abdurrahman bin ‘Auf pun berdagang hari demi hari hingga akhirnya menjadi saudagar yang kaya raya lagi, dan akhirnya menikahi wanita Anshar. Abdurrahman bin ‘Auf adalah orang yang terkenal sangat kaya dan senang berinfaq, bahkan semakin dia berinfaq maka semakin Allah Azza wa jalla memberikan kekayaan kepadanya. Disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari bahwa Abdurrahman bin ‘Auf memiliki empat orang istri, dan tatkala beliau meninggal diberikan warisan bagi satu orang istri sebanyak 100.000 dinar. Dan jika kita hitunghitung dari hukum waris, maka istri mendapatkan 1/8 dari harta suami. Maka jika total warisan yang didapatkan oleh keempat istri Abdurrahman bin ‘Auf adalah 400.000 dinar, dan angka tersebut adalah 1/8 dari harta Abdurrahman bin ‘Auf. Sehingga total harta Abdurrahman bin ‘Auf adalah 3.200.000 dinar. Akan tetapi ketahuilah, meskipun Abdurrahman bin ‘Auf memiliki harta yang banyak, ia tidak pernah merasa percaya diri dan ujub atas apa yang dia infakkan. Berbeda dengan sebagian orang yang tatkala memberikan infaq, dia senantiasa mengungkitngungkit jasanya. Akan tetapi Abdurrahman bin ‘Auf berinfaq semata-mata karena Allah Azza wa jalla .Sampai-sampai suatu saat Sa’ad bin Jubair pernah melihat ada orang yang tawaf di Ka’bah yang setiap dia bertawaf orang tersebut berdoa, “Ya Allah jauhkan aku dari sifat pelit, Ya Allah jauhkan aku dari sifat pelit.”
Sa’ad bin Jubair tatkala mendengarkan doa tersebut menyangkan bahwa apakah orang tersebut adalah orang yang pelit sehingga dia harus berdoa seperti itu? Akan tetapi seteleh dicari tahu, ternyata orang tersebut adalah Abdurrahman bin ‘Auf yang terkenal suka berinfaq.
Inilah beberapa perkara yang bisa kita bahas dalam pembahasan kesempatan kali ini. Intinya adalah harta bukanlah hal yang tersecela, justru sangat dianjurkan dalam syariat jika seseorang yang memiliki harta, kemudian harta tersebut digunakan di jalan Allah Azza wa jalla ,sehingga hal tersebut akan menaikkan derajatnya di akhirat kelak. Akan tetapi orang-orang yang memiliki harta namun digunakan pada perkaraperkara yang sia-sia dan tidak diridhai oleh Allah Azza wa jalla, maka harta tersebut akan mendatangkan kecelakaan baginya di akhirat kelak. Wallahu a’lam bisshawab.
Jangan lupa dukung kami dengan cara share & like atau belanja buku dan produk lainnya di :
MOESLIM BOOK CENTRAL
جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا كَثِيْرًا وَجَزَاكُمُ اللهُ اَحْسَنَ الْجَزَاء
コメント