KAIDAH FIQIH
- Muhammad Basyaib
- 15 Mar 2021
- 4 menit membaca
Diperbarui: 19 Mar 2021

"Mengamalkan dua dalil sekaligus lebih utama daripada meninggalkan salah satunya selama masih memungkinkan"
Sumber : Majalah as-Sunnah, No. 08 Thn.XVIII_1436, Rubrik Qawaid Fiqhiyyah
Dipublish : Moeslim Book Central
MAKNA KAIDAH
Kaidah ini menjelaskan patokan yang harus dipegang ketika kita menemui dua dalil yang nampaknya berseberangan atau bertentangan. Maka sikap kita adalah menjamak dan menggabungkan dua dalil tersebut selama masih memungkinkan. Karena keberadaan dalil-dalil itu untuk diamalkan dan tidak boleh ditinggalkan kecuali berdasarkan dalil yang Lain. Jadi hukum asalnya adalah tetap mengamalkan dalil tersebut.
CARA MENYIKAPI PERTENTANGAN DALIL
Apabila ada dua dalil yang nampaknya berseberangan maka ada tiga alternatif dalam menyikapinya. Pertama. Kita menjamakkan dan mengkompromikan keduanya dengan mengkhusukan yang umum atau memberikan taqyid kepada yang mutlaq. Ini dilakukan apabila memang hal itu memungkinkan. Jika tidak memungkin maka berpindah ke alternatif kedua, yaitu dengan an-naskh. Alternatif ini dilakukan dengan mencari dalil yang datangnya lebih akhir lalu kita jadikan sebagai nasikh (penghapus) kandungan dalil yang datang lebih awal, jika tidak memungkinkan juga, maka kita menempuh alternatif ketiga, yaitu kita mentarjih dengan memilih salah satu dari dua dalil tersebut mana yang lebih kuat. *Apabila tidak memungkinkan untuk dilakukan tarjih dimana tidak ditemukan sarana untuk merajihkan (menguatkan) salah satu dari dua dalil tersebut, maka sikap kita adalah tawaqquf. Namun tidak ada contoh yang shahih dalam kasus seperti ini. (Lihat al-Ushul min 'llmi al-Ushul, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Cetakan Pertama, Tahun 1424 H, Dar Ibn al-Jauzi, Damam, hlm. 77).*
Alternatif pertama lebih didahulukan daripada alternatif kedua karena dengan menjamak berarti dua dalil tersebut telah diamalkan dalam satu waktu. Ini lebih utama daripada mengamalkan dua dalil tersebut dalam waktu yang berbeda. Kita mendahulukan alternatif kedua daripada alternatif ketiga karena an-naskh sebenarnya juga mengamalkan dua dalil tersebut hanya saja bukan pada waktu yang bersamaan tetapi pada waktu yang berbeda. Dalil yang dimansukh (dihapus hukumnya) diamalkan sebelum naskh, dan dalil yang menghapus diamalkan setelah naskh. Jadi, dalil yang mansukh tidak ditinggalkan secara mutlak, ia diamalkan pada waktunya sebelum dinaskh karena ia juga dalil shahih. Adapun tarjih maka hakikatnya adalah membatalkan salah satu dalil secara utuh dan diyakini tidak boleh diamalkan mutlak, tidak pada masa silam ataupun sekarang. Oleh karena itulah para Ulama' menjadikannya alternatif setelah an-naskh. *Lihat penjelasan berkaitan dengan hat ini dalam as-Syarh al-Mumti' 'ala Zad al-Mustaqni', Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin, Cetakan I, Tahun 1422 H, Dar Ibnil Jauzi, Damam, 1/281-282.*
CONTOH PENERAPAN KAIDAH
Berikut ini beberapa contoh kasus sebagai penjelasan aplikatif dari kaidah ini:
1. Dalam sebagian ayat dijelaskan bahwa Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam bisa memberikan hidayah, sebagaimana firman Allah, Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang Lurus. (QS. Asy-Syura/42:52)
Namun, di ayat lain disebutkan bahwa Beliau tidak bisa memberikan hidayah. Yaitu dalam firman-Nya: kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, akan tetapi Allah memberikan petunjuk kepada siapa yang dikehendaki (QS.AlQashash/28:56)
Untuk menggabungkan kedua ayat tersebut, maka kita katakan bahwa hidayah yang dimaksudkan pada ayat pertama adalah hidayah (petunjuk) untuk mengarahkan manusia menuju jalan kebenaran. Ini yang bisa dilakukan oleh Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam ,sedangkan hidayah yang dimaksudkan pada ayat kedua adalah petunjuk dalam arti taufiq supaya seseorang mau menerima kebenaran. Hidayah ini sematamata menjadi hak Allah Subhanahu wa ta'ala Nabi oleh dimiliki tidak, maupun orang lain. *Lihat al-Ushul min 'llmi al-Ushul, Syaikh Muhammad bin Shalih alUtsaimin, hlm. 75.*
2. Disebutkan dalam hadits Busrah binti Shafwan Radiallahu 'anha bahwa menyentuh kemaluan membatalkan wudhu.
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Barangsiapa menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu. *HR. Abu Dawud no. 181, an-Nasa-i no. 163, at-Tirmidzi no. 82 ia berkata "Ini hadits hasan shahih." Ibnu Majah no. 4479. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwa' al-Ghalil 1/150.*
Namun dalam hadits lain disebutkan bahwa menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu. Dalam hadits Thalq bin Ali Radiallahu 'anhu disebutkan bahwa ia bertanya kepada Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam tentang seseorang yang menyentuh kemaluannya ketika shalat, apakah ia wajib berwudhu, maka Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam menjawab: Tidak, sesungguhnya kemaluan itu bagian anggota tubuhmu. *HR. Abu Dawud no. 182, at-Tirmidzi no. 85, an-Nasa-i no. 165, Ibnu Majah no. 483. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/334.*
Maka dua dalil tersebut digabungkan dengan penjelasan bahwa menyentuh kemaluan membatalkan wudhu apabila memenuhi dua persyaratan, yaitu menyentuh tanpa penghalang *Lihat as-Syarh al-Mumti' ala Zad al-Mustaqni', Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin, 1/278.* dan dilakukan dengan syahwat. Ada pun jika tidak terpenuhi dua syarat tersebut maka menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu.
Menyentuh secara langsung tanpa penghalang membatalkan wudhu berdasarkan hadits Abu Hurairah Radiallahu 'anhu, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Barangsiapa menyentuh kemaluannya dengan tangannya, sedangkan antara sentuhan dan kemaluannya tidak dihalangi sesuatu pun, maka ia wajib berwudhu. *HR. Ahmad 2/333, Ibnu Hibban 1118, ad-Daruquthni 1/147, alBaihaqi 2/131. Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim, Ibnu Hibban, Ibnu Abdil Bar, dan An Nawawi. (Lihat as-Syarh al-Mumti' 1/279). *
Adapun dipersyaratkan adanya syahwat dikarenakan menyentuh kemaluan tanpa syahwat adalah seperti menyentuh tangan, hidung, dan semisalnya yang tentu saja tidak membatalkan wudhu, sebagaimana diisyaratkan dalam hadits Thalq bin Ali di atas. *Lihat penjelasan tentang hal ini dalam as-Syarh al-Mumti' ala Zad alMustaqni', 1/282.*
Inilah pendapat yang yang rajih, karena mengamalkan semua dalil yang ada, tanpa meninggalkan satu dalil pun, tanpa naskh ataupun tarjih. Inilah yang lebih utama karena mengkompromikan dalil-dalil yang ada itu lebih utama selama masih memungkinkan.
3. Pendapat yang rajih (kuat), orang-orang kafir itu najis ditinjau dari i'tiqad-nya (keyakinannya) bukan dari sisi lahiriyahnya. Pendapat ini diambil karena menggabungkan firman Allah, Wahai orang-orang yqng beriman, Sesungguhnya orangorang yang musyrik itu najis. (QS. At Taubah/9:28)
Dengan firman Allah, Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka. (QS. AlMaidah/5:5)
Ayat pertama di atas menunjukkan bahwa orang-orang kafir itu najis, sedangkan ayat kedua menunjukkan mereka tidak najis karena makanan (sembelihan) mereka halal bagi kita, dan wanita-wanita mereka pun boleh dinikahi. Oleh karena itu, dalil yang menunjukkan kenajisan orang kafir dimaknai dengan kenajisan dari sisi keyakinan. Adapun dalil yang menunjukkan ketidak najisan mereka dimaknai dari sisi lahiriyah mereka. Dengan demikian kedua dalil tersebut bisa kompromikan tanpa meninggalkan sebagiannya. *Lihat penjelasan tentang hal ini dalam as-Syarh al-Mumti' ala Zad alMustaqni', 1/448.*
Demikian pembahasan kaidah ini.semoga bermanfaaf bagi kaum Muslimin sekalian. *Diangkat dari Talqih al-Afham al-‘Aliyyah bi Syarh al-Qawa'id alFiqhiyyah, Syaikh Walid bin Rasyid as-Sa'idan, kaidah ke-20*
Wallahu a'lam.[]
Jangan lupa dukung kami dengan cara share & like atau belanja buku dan produk lainnya di :
MOESLIM BOOK CENTRAL
جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا كَثِيْرًا وَجَزَاكُمُ اللهُ اَحْسَنَ الْجَزَاء
Comments