HAK-HAK ISTRI (3)
- Muhammad Basyaib
- 3 Mar 2021
- 4 menit membaca
Diperbarui: 9 Mar 2021

Oleh: Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Dipublish: Moeslim Book Central
Adapun perintah dalam hadits Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam yang menyebutkan tentang bagaimana seorang suami harus memberi nafkah kepada istrinya. Dalam hadits disebutkan bahwa istri Abu Sufyan mengeluh kepada Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam. Dari 'Aisyah radhiallahu 'anha berkata, "Hindun binti 'Utbah istri Abu Sufyan datang menemui Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam seraya berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah laki-laki yang pelit, dia tidak pernah memberikan nafkah yang dapat mencukupi keperluanku dan kepeluan anak-anakku, kecuali bila aku ambil hartanya tanpa sepengetahuan darinya. Maka berdosakah jika aku melakukannya?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Kamu boleh mengambil sekedar untuk mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu." (HR. Muslim 3/1338 no. 1714)
Dari hadits ini kita mengambil pelajaran bahwa wajib bagi suami untuk memenuhi kebutuhan istri dan anaknya. Sehingga jika ada seorang suami yang tidak memenuhi kebutuhan istri dan anaknya padahal dia mampu, maka boleh seorang istri mengambil harta suaminya untuk memenuhi kebutuhannya dan anak-anaknya dengan secukupnya. Dan tidak boleh seorang istri mengambil harta suaminya secara berlebih-lebihan, karena hal tersebut adalah haram bagi sang istri. Akan tetapi jika seorang suami telah memenuhi segala kebutuhan istri dan anaknya, maka haram bagi istri mengambil harta suaminya sepeserpun.
Maka saya sampaikan bahwa kewajiban memberi nafkah adalah suatu hal yang penting dan meruakan hak istri yang harus ditunaikan seorang suami. Kewajiban nafkah suami terhadap istri di antaranya adalah dalam hal makanan, pakaian, dan tempat tinggal.
a. Nafkah pangan (makanan)
Seorang suami wajib memberi makan kepada istrinya sebagaimana yang dia makanan. Sebagaimana hadits yang telah kita sebutkan. Sehingga jangan sampai kita dapati istri kita dalam keadaan kurus, kekurangan makanan, dan kekurangan gizi. Karena istri punya hak untuk mendapatkan makanan. Maka seorang istri berhak mendapatkan makanan sebagaimana apa yang dimakan oleh suaminya. Akan tetapi tidak wajib bagi seorang suami untuk selalu memberikan makanan yang mewah, melainkan memberikan makanan yang sewajarnya. Adapaun jika sesekali maka tidak mengapa, karena jika selalu makanan yang mewah, maka hal tersebut malah masuk dalam hal pemborosan.
b. Nafkah sandang (pakaian)
Seorang suami hendaknya memberikan nafkah pakaian, sepatu, tas dana perlengkapan lainnya kepada istrinya dengan wajar. Sehingga seorang istri memiliki sesuatu yang bisa dia kenakan di rumahnya, atau pada acara-acara yang dia hadiri seperti walimah, pertemuan, dan acara yang lainnya. Kemudian perlu untuk diperhatikan bahwa hendaknya nafkah sandang tersebut tidaklah berlebih-lebihan, melainkan sesuai dengan kemampuan sang suami. Karena kita dapati sebagain para istri memiliki berbagai macam koleksi sandal dan sepatu, tas, dan pakaian. Padahal mungkin cukup dua hingga tiga yang dimiliki oleh seorang istri. Ketahuilah bahwa berlebih-lebihan dalam hal ini tidaklah memberikan faidah. Oleh karenanya tidak wajib bagi suami untuk memenuhi permintaan istri yang suka mengoleksi sepatu, tas atau pakaian. Hendaknya seorang suami memenuhi kebutuhan istri sesuai dengan kemampuannya dan juga sewajarnya sebagaimana wanitawanita yang ada pada zaman sekarang.
c. Nafkah papan (tempat tinggal)
Dalam hal tempat tinggal, seorang istri berhak untuk mendapatkan tempat tinggal sendiri yang terpisah dari orang tua maupun iparnya atau saudaranya. Jangankan wanita yang masih dalam status pernikahan, suami wajib memebrikan tempat tinggal bagi wanita yang dicerai dan dalam masa 'iddah. Sebagaiaman firman Allah Azza wa jalla yang bercerita tentang wanita yang dicerai dalam Alquran,"Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya." (QS. Ath-Thalaq : 6)
Maka kalau wanita yang dicerai saja Allah Azza wa jalla memerintahkan untuk memberikan tempat tinggal, maka bagaimana lagi dengan seorang wanita yang masih menjadi istri sah.
Sebagaimana yang telah kita sebutkan sebelumnya bahwa asalnya tempat tinggal yang harus suami sediakan adalah tempat tinggal yang bersifat privasi dan terpisah dari kerabat suami atau bahkan istri suami yang lainnya. Para ulama mengatakan seperti al-Kasani rahimahullah, "Jika suami hendak mengajak istrinya tinggal bersama istrinya yang lain atau kalangan keluarga mertua istri seperti ibunda suami, saudari suami (ipar) atau putri dari istrinya yang lain serta kerabat suami yang lain sedang istri enggan dalam hal tersebut, maka suami harus menempatkannya dalam rumah pribadi." (Bada'i ash-Shana'i 4/32)
Maka jika seorang istri tidak setuju dan mengizinkan kerabat suaminya untuk tinggal bersamanya, tidak boleh seorang suami kemudian marah terhadap istrinya karena itu merupakan bagian hak istri.
Dari sini juga kita dapat mengetahui bahwa tidak boleh seorang suami menggabungkan antara istri yang satu dengan istrinya yang lain dalam satu rumah. Hal ini ditegaskan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah dengan mengatakan, "Tidak boleh seorang suami mengumpulkan dua istri dalam satu tempat tinggal tanpa keridhaan keduanya, baik istri muda maupun istri tua, karena mudarat yang bisa muncul di antara keduanya, yaitu permusuhan dan kecemburuan. Apabila keduanya dikumpulkan akan mengobarkan pertikaian dan permusuhan. Yang satu akan men-dengar atau melihat ketika suaminya 'mendatangi' istri yang lain. Namun, jika kedua istri ridha, hal itu dibolehkan. Sebab, hal itu menjadi hak keduanya dan mereka bisa menggugurkannya." (Al-Mughni 7/300)
Oleh karena itu jika tatkala seseorang laki-laki menikah, dan kondisi memaksakan dia untuk menempatkan ibunya di rumahnya, maka dia harus sadari bahwa hal tersebut berarti telah menggugurkan hak istri untuk memiliki tempat tinggal sendiri dan yang terpisah. Maka wajib seorang suami untuk meminta izin dan keridhaannya terlebih dahulu kepada istrinya tanpa memaksakannya untuk menggugurkan haknya. Adapun wanita salihah pasti akan memberika izin jika sang suami meminta yang demikian. Karena banyak terjadi perselihan dan cekcok yang luar biasa tatkala seorang suami menggabungkan istri dan ibunya dalam satu rumah, meskipun adapula kasus yang lain yang harmonis hubungan menantu dan mertua. Akan tetapi perlu saya ingatkan bahwa seorang istri tidak wajib merawat ibu mertua. Sehingga tidak boleh bagi seorang suami untuk menyalahkan sang istri tatkala tidak membantunya dalam merawat ibunya, karena syariat menyebutkan demikian.
Jangan lupa dukung kami dengan cara share & like atau belanja buku dan produk lainnya di :
MOESLIM BOOK CENTRAL
جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا كَثِيْرًا وَجَزَاكُمُ اللهُ اَحْسَنَ الْجَزَاء
Comments