top of page

HAK-HAK ISTRI (2)

Diperbarui: 9 Mar 2021



Oleh: Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.

Dipublish: Moeslim Book Central



Maka dari itu kita akan membahas terlebih dahulu hak-hak istri.


Dahulu para sahabat menanyakan kepada Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam tentang hak-hak istri mereka. Seperti hadits dari Hakim bin Mu'awiyah bahwa Mu'awiyah pernah bertanya kepada Rasulullah dengan berkata, "Wahai Rasulullah, apakah hak istri salah seorang diantara kami atasnya? Beliau berkata: "Engkau memberinya makan apabila engkau makan, memberinya pakaian apabila engkau berpakaian, janganlah engkau memukul wajah, jangan engkau menjelek-jelekkannya (dengan perkataan atau cacian), dan jangan engkau tinggalkan kecuali di dalam rumah." Berkata Abu Daud, "Dan janganlah engkau menjelek-jelekkannya (dengan perkataan atau cacian) dengan mengatkan 'Semoga Allah memburukkan wajahmu'." (HR. Abu Daud 2/244 no. 2142)


Ini merupakan bentuk perhatian seorang sahabat radhiallahu 'anhum ajma'in terhadap hak-hak istrinya. Mereka para sahabat menanyakan kepada Rasulullah agar mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Maka hendaknya seseorang suami mengetahui hak-hak istri untuk dia tunaikan. Secara umum hak-hak istri terbagi menajdi dua. Yang pertama adalah hakhak yang berkaitan dengan harta. Dan yang kedua adalah hakhak yang tidak berkaitan dengan harta (materi) seperti menggaulinya dengan baik, menjaga perasaannya, dan yang lainnya.


A. Hak-hak yang berkaitan dengan harta


1.Mahar

Sebagaimana kita ketahui bahwa mahar adalah harta yang disepakati oleh suami untuk diberikan kepada istri tatkala hendak menikahi sang wanita, yang terkadang disebutkan dalam akad nikah, dan terkadang pula tidak disebutkan. Mahar hukumnya wajib meskipun tidak termasuk dalam syarat dan rukun nikah. Oleh karenanya jika seseorang menikah dan tidak menyebutkan mahar, maka tetap wajib bagi seorang lakilaki untuk membayar mahar yang disebut sebagai (mahar mitsli), yaitu mahar yang layak bagi sang wanita sebagaimana para wanita lain yang sederajat dengannya dengan ukuran 'urf atau kebiasaan dan suku dari wanita tersebut. karena kita tahu bahwa mahar masing-masing daerah berbeda-beda sebagaimana perbedaan mahar antara suku jawa, bugis, betawi, batak, dan yang lainnya. Akan tetapi jika mahar telah disebutkan sebelum pernikahan, maka meskipun nilainya kurang atau lebih dari adat kebiasaan daerah tersebut, maka teta wajib untuk dibayarkan.


Mahar yang dibayarkan oleh suami kepada istri adalah murni hak seorang istri. Karena dalam sebagian tradisi ada yang memisahkan antara uang mahar untuk istri, dan uang untuk mertua. Maka yang menjadi mahar untuk istri tidak boleh diganggu karena merupakan hak istri. Adapun jika dikemudian hari sang suami berikan sebagian dari mahar sang istri dengan ikhlas dan tidak terpaksa, maka itu dibolehkan. Allah Subhanhu wa ta'ala berfirman, "Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati." (QS. An-Nisa : 4)


Oleh karenanya mahar adalah murni hak istri dan tidak boleh memintanya. Adapun jika istri memberikan dengan kerelaan, maka dibolehkan. Kewajiban seorang suami membayar mahar juga ditunjukkan ketika telah terjadi perceraian. Ketika perceraian telah terjadi dan mahar belum lunas dibayarkan oleh sang suami, maka tetap wajib bagi seorang suami untuk melunasinya. Karena mahar adalah hak istri.


Oleh karenanya ini juga menunjukkan bahwa hendaknya pernikahan itu dimudahkan sebagaimana sahnya pernikahan meskipun tidak menyebutkan mahar. Karena kita dapati sbegaian orang yang mempersulit pernikahan dengan caracara yang tidak benar seperti mengucapkan akad harus dengan satu nafas atau mengucapkan akad dengan terbata-bata maka tidak sah. Hal-hal seperti ini tentunya memberatkan seseorang dalam melangsungkan pernikahan.


2.Memberikan nafkah

Kewajiban seorang suami untuk menafkahi suaminya hanya berlaku jika sang istri mau untuk digauli dan menyerahkan dirinya kepada sang suami. Akan tetapi jika sang istri enggan untuk digauli, maka tidak ada kewajiban bagi suami untuk memberi nafkah. Karena di antara hak suami juga adalah terpenuhinya hajatnya terhadap istrinya. Akan tetapi jika sang istri adalah seorang yang salihah dan memenuhi hak-hak suaminya dengan wajar, maka wajib bagi sang suami untuk memberi nafkah.


Para ulama mengatakan bahwa di antara hikmah akan hak ini adalah karena sebelumnya wanita tidak bisa untuk keluar dari rumahnya karena banyaknya urusan dan tugas di dalam rumahnya yang menyebabkan dia tidak bisa bekerja di luar rumah. Sehingga wajib bagi suami untuk memenuhi segala kebutuhan istri karena telah mengkhidmahkan dirinya untuk sang suami.


Nafkah dalam hal ini mencakup tiga hal yaitu nafkah pangan (makanan), sandang (pakaian), dan papan (rumah atau tempat tinggal). Dan ini semua wajib dipenuhi oleh sang suami. Allah Azza wa jalla berfirman, "Dan kewajiban ayah (suami) menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang baik." (QS. Al-Baqarah : 233)


Dalam ayat yang lain Allah Azza wa jalla berfirman, "Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan." (QS. Ath-Thalaq : 7)


Di dalam ayat ini, Allah Azza wa jalla memerintahkan seorang suami untuk tidak pelit dalam memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya, melainkan menafkahkan sesuai dengan kelapangan yang Allah berikan kepadanya. Sebagaimana dalam hadits yang telah kita sebutkan sebelumnya bahwa tatkala seorang sahabat bertanya tentang apa hak istri terhadap suaminya, maka Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Engkau memberinya makan apabila engkau makan." (HR. Abu Daud 2/244 no. 2142)


Dan dalam hadits lain Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda,"Dinar (harta) yang kamu belanjakan di jalan Allah dan dinar (harta) yang kamu berikan kepada seorang budak wanita, dan dinar yang kamu sedekahkan kepada orang miskin serta dinar yang kamu nafkahkan kepada keluargamu. Maka yang paling besar ganjaran pahalanya adalah yang kamu nafkahkan kepada keluargamu." (HR. Muslim 2/692 no. 995)


Oleh karenanya seorang suami jangan pelit terhadap istrinya. Hendaknya seorang suami memberikkan nafkah kepada istrinya sesuai kelapangan yang Allah berikan kepadanya. Karena sangat banyak dalil yang menunjukkan bahwa seorang suami harus berbuat baik kepada istrinya. Oleh karenanya tatkala seorang suami memiliki rezki yang terbatas, maka Allah memerintahkan pula untuk memberikan nafkah sesuai dengan kemampuannya.


 

Jangan lupa dukung kami dengan cara share & like atau belanja buku dan produk lainnya di :



MOESLIM BOOK CENTRAL


جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا كَثِيْرًا وَجَزَاكُمُ اللهُ اَحْسَنَ الْجَزَاء


Postingan Terakhir

Lihat Semua
RUJUK DAN HULU' (2)

Oleh : Syaikh Muhammad bin Ibrahim at-Tuwayjiriy Disalin dari : Kitab RINGKASAN FIQIH ISLAM Dipublish : Moeslim Book Central HULU'  ◾...

 
 
 
RUJUK DAN HULU' (1)

Oleh : Syaikh Muhammad bin Ibrahim at-Tuwayjiriy Disalin dari : Kitab RINGKASAN FIQIH ISLAM Dipublish : Moeslim Book Central ROJ'AH...

 
 
 

Kommentarer


© 2023 by Money Savvy. Proudly created with wix.com

Get Social

  • Grey Facebook Icon
  • Grey Twitter Icon
  • Grey LinkedIn Icon
  • Grey YouTube Icon
bottom of page