Ramadhan Yang Kunanti (9)
- Muhammad Basyaib
- 23 Mar 2021
- 3 menit membaca
Diperbarui: 24 Mar 2021

(Terjemah dan Ta’liq terhadap kitab Fushul fi Shiyam wat Tarawih waz Zakat Karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah)
Penerjemah dan Ta’liq: Ustadz Aris Munandar, S.S., M.P.I. Hafizahullah
Dipublish: Moeslim Book Central
Selama jangka waktu ini ia boleh mengambil keringanan-keringan safar, meskipun demikian lama jangka waktu ia tinggal di tempat tujuan safarnya tersebut. Dalilnya tidak terdapat bukti yang valid (shahih) tentang penetapan jangka waktu akhir safar. Hukum asalnya adalah masih berstatus musafir dan hukum-hukum yang berlaku saat bersafar tetap berlaku sampai ada dalil yang menghapus dan menghilangkan berlakunya hukum-hukum tersebut *Syaikh ‘Utsaimin Rahimahullah di buku ini memilih pendapat seseorang yang bersafar masih dikategorikan sebagai musafir tolak ukurnya dengan niat. Apabila seorang itu tidak memiliki niat menetap (tinggal selamanya) di tempat tujuan safarnya, meskipun tinggal bertahuntahun di tempat tersebut, tetap bertatus musafir. Contohnya, seseorang yang tinggal di tempat tujuan safar dalam rangka kuliah dan setelah kuliah ia berniat akan meninggalkan tempat tersebut, selama itu ia tetap berstatus sebagai musafir. Pendapat ini sebelumnya adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah. Namun pendapat beliau di atas adalah pendapat yang kurang kuat. Pendapat yang lebih kuat atau tepat adalah status musafir seseorang yang tinggal di tempat tujuan safarnya hilang apabila menurut ‘urf (kebiasaan masyarakat setempat) orang tersebut sudah dikatakan bukan musafir lagi. Terdapat beberapa pendapat ulama tentang berapa lama jangka waktunya tersebut. Ada ulama yang mengatakan waktunya selama 9 hari, 18 hari dan sejumlah pendapat lainnya. Kesimpulannya, hilangnya status sebagai musafir ketika tinggal di tempat safarnya lama waktunya dikembalikan berdasar penilaian ‘urf . Disebutkan di dalam Kitab “Ahkam as-Safar wa Adabuhu” karya Muhammad bin ‘Ali al-‘Alawi hal. 42, “Tentang jangka waktu musafir tidak boleh lagi mengqashar shalat, musafir itu boleh mengqashar shalat selama tidak memiliki niat menjadikan tempat tujuan safarnya sebagai tempat domisilinya atau tidak memiliki tekad untuk tinggal di tempat tersebut dalam jangka waktu yang menurut ‘urf atau budaya dia tidak lagi berstatus musafir.” Maka ada dua cara untuk menentukan seseorang dikatakan bukan sebagai musafir lagi. Pertama, penentuan hilangnya status musafirnya berdasar penilaian ‘urf (kebiasaan masyarakat setempat). Kedua, berdasarkan niat untuk tinggal selamanya atau berdomisili di daerah tersebut, maka orang ini dinilai bukan lagi sebagai musafir.*.
Tidak ada perbedaan untuk safar yang mendapatkan keringanan, antara safar yang insidental (dengan jangka waktu tertentu) seperti haji, umrah, mengunjungi sanak kerabat, keperluan bisnis atau yang semacam itu, dengan safar yang bersifat terus menerus (non insidental) seperti safar pada supir taksi *Atau seperti kendaraan antar kota, antar propinsi, seperti supir bis malam.* atau kendarankendaraan lain yang besar. Orang yang berprofesi sepeti ini dinilai sebagai musafir apabila telah keluar dari daerahnya dan dibolehkan baginya hal-hal yang dibolehkan bagi seorang musafir, berupa berbuka di siang hari Bulan Ramadhan, meng-qashar (meringkas) shalat yang berjumlah 4 rakaat menjadi 2 rakaat, serta menjama (menggabungkan) shalat apabila ada kebutuhan untuk menjamak antara shalat Dzuhur dengan shalat ‘Ashar dan antara shalat Mahgrib dengan shalat ‘Isya.
Pilihan berbuka atau tidak berpuasa itu lebih utama bagi mereka apabila dengannya lebih memudahkan mereka. Mereka bisa menggantinya nanti di musim-musim dingin (di luar Bulan Ramadhan). Hal ini karena mereka memiliki domisili (tempat tinggal) yang mereka disebut sebagai penduduk daerah tersebut. Ketika mereka tinggal di negernya statusnya mereka adalah mukim, bukan musafir. Dalam kondisi demikian mereka memiliki hak sebagaimana orang yang mukim dan memiliki kewajiban sebagaimana orang yang mukim. Ketika mereka kembali melakukan safar statusnya menjadi musafir lagi. Mereka punya hak sebagaimana hak musafir dan punya kewajiban sebagaimana kewajiban musafir *Contoh lainnya, orang yang bekerja di kapal pesiar atau kapal antar pulau besar. Namun hal ini berbeda dengan orang yang memang tinggal di kapal terapung seperti sejumlah suku di Indonesia. Mereka ini tetap dinilai sebagai orang yang mukim, karena memang mereka dan keluarganya tinggal (mukim) di kapal tersebut.*.
Jangan lupa dukung kami dengan cara share & like atau belanja buku dan produk lainnya di :
MOESLIM BOOK CENTRALجَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا كَثِيْرًا وَجَزَاكُمُ اللهُ اَحْسَنَ الْجَزَاء

Komentar