Ramadhan Yang Kunanti (8)
- Muhammad Basyaib
- 23 Mar 2021
- 3 menit membaca
Diperbarui: 24 Mar 2021

(Terjemah dan Ta’liq terhadap kitab Fushul fi Shiyam wat Tarawih waz Zakat Karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah)
Penerjemah dan Ta’liq: Ustadz Aris Munandar, S.S., M.P.I. Hafizahullah
Dipublish: Moeslim Book Central
Iradah (kehendak) Allah di sini adalah iradah syar’iyyah yang bermakna kecintaan Allah. Namun apabila sama-sama mudah *Apabila berpuasa atau tidak puasa sama saja. Contohnya, safarnya nyaman atau penuh dengan kemudahan. Dalam kondisi ini sebenarnya ulama berselisih pendapat pilihan apa yang paling afdal antara puasa atau tidak berpuasa.* - pendapat yang diambil oleh penulis (Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin Rahimahullah)- adalah lebih baik berpuasa, karena itulah perbuatan Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam. Dalil untuk pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Dari Abu Darda’ Radiallahu 'anhu ia berkata: Kami berangkat safar bersama Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam di hari Bulan Ramadhan pada kondisi cuaca yang sangat terik sampai ada salah satu dari kami yang meletakkan tangannya di kepalanya untuk mengurangi teriknya saat itu dan sampai-sampai tidak ada dari kami yang berpuasa kecuali Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam dan ‘Abdullah bin Rawahah.” (HR. Muslim no. 1122) *Hadits ini menunjukkan bahwa semangat Nabi n adalah semangat untuk berpuasa, meskipun dalam kondisi yang sulit. Sehingga disimpulkan pendapat lebih kuat adalah lebih baik tetap berpuasa apabila safarnya mudah menimbang semangat Nabi n untuk tetap berpuasa sebagaimana isi hadits di atas.*.
Lantas apa batasan seseorang yang berpergian teranggap safar?
Seseorang itu disebut musafir apabila ia telah keluar dari daerahnya (tempat domisilinya) *Yang dimaksud dengan meninggalkan tempat domisili adalah meninggalkan kota atau daerahnya. Jika kota tersebut memiliki tembok keliling pembatas kota, tolok ukur meninggalkan kota adalah keluar dari tembok keliling tersebut. Jika tidak ada tempat keliling tolok ukurnya adalah meninggalkan rangkaian bangunan di kota tersebut. Dua desa yang menyatu itu teranggap satu desa. Teranggap keluar jika sudah keluar dari rangkaian bangunan di dua desa tersebut. Akan tetapi jika dua desa tersebut terpisah secara ‘urf atau budaya meski dengan pemisah yang tidak lebar, maka keluar dari satu desa sudah terhitung keluar dan meninggal desa tersebut. (Ghoyah al-Muna, hal. 435).* sampai ia kembali lagi ke tempat domisilinya itu tersebut *Sejak kapan musafir dibolehkan untuk berbuka, ini adalah hal yang diperselisihkan para ulama (ikhtilaf ulama). Syaikh ‘Utsaimin Rahimahullah di sini memilih pendapat jumhur ulama (mayoritas ulama). Musafir boleh berbuka apabila ia telah keluar dari negerinya (daerahnya) dan berlaku hak-hak musafir padanya. Ada juga pendapat yang lain, yaitu pendapat sahabat Nabi, Anas bin Malik Radiallahu 'anhu. Pendapat beliau ini dikuatkan oleh Syaikh Al-Albani Rahimahullah, dan Syaikh Al-Albani memiliki buku khusus membahas masalah ini berjudul “Tashhih Hadits Ifthar ash-Shaim Qabla Safarihi Ba’da al-Fajri war Radd ‘ala Man Dha’afahu” berkenaan dengan pembahasan hadits Nabi riwayat Tirmidzi yang menyatakan bahwa sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mau safar sebelum berangkat sudah berbuka terlebih dahulu. Anas bin Malik ketika mau safar beliau berbuka terlebih dahulu dan beliau menilai bahwa ini adalah sunnah Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam. Berikut ini kutipan dari Sunan at-Tirmidzi nomor hadits 729: Dari Muhammad bin Ka’ab, beliau mendatangi Anas bin Malik di bulan Ramadhan. Anas ketika itu hendak berangkat safar. Onta yang hendak dijadikan kendaraan sudah siap. Anas pun sudah memakai pakaian selayaknya orang yang hendak bepergian. Anas lantas minta diambilkan makan lalu menikmati makanan tersebut. Kutanyakan, “Apakah ini sunnah?”. “Sunnah”, jawab Anas secara singkat. Kemudian Anas menaiki ontanya. “Sebagian ulama berpendapat sebagaimana isi hadits ini. Mereka mengatakan bahwa musafir itu boleh membatalkan puasa di rumah sebelum berangkat safar namun musafir itu tidak boleh mengqashar shalat sampai meninggalkan rumah terakhir dari kota atau desanya. Ini adalah pendapat Ishaq bin Ibrahim al-Hanzhali.” Namun, di sini penulis menguatkan dan memilih pendapat jumhur ulama yang hanya membolehkan musafir berbuka apabila ia telah keluar dari negeri/daerahnya.*. Seorang yang bersafar tetap dihukumi sebagai musafir meskipun ia tinggal dengan selang waktu tertentu di tempat safarnya selama ia tidak berkeinginan untuk tinggal selamanya di tempat tersebut dan akan kembali apabila tujuan atau kebutuhan safarnya telah selesai.
Jangan lupa dukung kami dengan cara share & like atau belanja buku dan produk lainnya di :
MOESLIM BOOK CENTRALجَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا كَثِيْرًا وَجَزَاكُمُ اللهُ اَحْسَنَ الْجَزَاء

Komentar