Ramadhan Yang Kunanti (7)
- Muhammad Basyaib
- 23 Mar 2021
- 2 menit membaca
Diperbarui: 24 Mar 2021

(Terjemah dan Ta’liq terhadap kitab Fushul fi Shiyam wat Tarawih waz Zakat Karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah)
Penerjemah dan Ta’liq: Ustadz Aris Munandar, S.S., M.P.I. Hafizahullah
Dipublish: Moeslim Book Central
B. Hukum Puasa Ramadhan bagi Orang yang Sedang Safar (Musafir)
Ketentuan untuk orang yang safar/ berpergian jauh (musafir) ada 2 rincian:
Pertama, orang yang safar dengan tujuan mengakali agama atau cari trik agar dapat tidak berpuasa *Contoh, seorang yang safar karena ia merasa lapar sekali dan ingin makan saat sudah terhitung bersafar. Atau karena ingin berhubungan biologis dengan istrinya sehingga ia bersafar bersama istrinya saat sedang berpuasa*. Dalam keadaan seperti ini tidak boleh bagi orang tersebut berbuka puasa. Tipu daya (cari trik) untuk menghindari kewajiban dari Allah Ta’ala itu tidaklah menggugurkan kewajiban tersebut
*contohnya apabila seseorang bersafar di waktu berpuasa agar dapat ber-hubungan biologis dengan istri ia dinilai membatalkan puasa hubungan biologis tersebut bukan karena safar. Kewajibannya ada membayar kafarat (amalan penghapus dosa karena melanggar) puasanya tersebut yang diantara bentuknya adalah berpuasa selama 2 bulan berturut-turut. Begitu pula safar ketika sedang berpuasa karena ingin makan, statusnya adalah batal puasa karena makan di siang hari Bulan Ramadhan bukan karena safarnya.*.
Kedua, seseorang yang berpergian (bersafar) karena memang ada keperluan untuk bersafar (tidak untuk tipu daya/cari trik). Maka ada 3 rincian:
1) Apabila kerepotan untuk berpuasa dengan kerepotan/kesulitan yang besar orang seperti ini hukumnya haram untuk berpuasa. Karena Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam, Dari Jabir bin ‘Abdillah Radiallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam pada peperangan Fathul Makkah dalam keadaan berpuasa. Lalu ada yang menyampaikan kepada Nabi bahwa banyak orang kerepotan untuk berpuasa dan mereka menunggu atas apa yang akan Nabi lakukan. Lalu Nabi meminta satu gelas berisi air di waktu setelah Ashar lalu Nabi meminumnya (dalam keadaan banyak orang menyaksikannya). Lalu ada orang yang lapor kepada Nabi: “Ada sebagian orang yang tetap nekat berpuasa”. Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam mengatakan: “Mereka semua itu pelaku maksiat *Tidaklah disebut bermaksiat kecuali karena melakukan hal yang haram atau meninggalkan yang wajib. Dalam keadaan ini, seseorang apabila berpuasa bukan mendapat pahala namun malah mendapat dosa. Dari hal ini bisa diambil pelajaran bahwa dalam perkara ibadah niat baik saja tidak cukup. Dalam hadits di atas, seseorang yang tetap nekat berpuasa meski Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk berbuka disebut pelaku maksiat. Ibadah harus dilakukan berdasar tuntunan Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam, disamping juga dilakukan dengan ikhlas karena Allah.* ,Mereka semua itu pelaku maksiat.” (HR. Muslim no. 1114).
2) Apabila kesusahan untuk berpuasa dengan kesusahan yang tidak berat. Orang dalam keadaaan seperti ini hukumnya makruh untuk berpuasa, karena ia meninggalkan keringanan (rukhshah) untuk tidak berpuasa di saat dirinya memiliki kesusahan apabila berpuasa.
3) Apabila tidak susah baginya jika berpuasa, dibolehkan memilih mana yang paling mudah antara berpuasa atau tidak berpuasa. Mengingat firman Allah Ta’ala, “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Surat AlBaqarah: 185).
Jangan lupa dukung kami dengan cara share & like atau belanja buku dan produk lainnya di :
MOESLIM BOOK CENTRALجَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا كَثِيْرًا وَجَزَاكُمُ اللهُ اَحْسَنَ الْجَزَاء

Komentar