top of page

Ramadhan Yang Kunanti (23)

Diperbarui: 14 Apr 2021


ree

(Terjemah dan Ta’liq terhadap kitab Fushul fi Shiyam wat Tarawih waz Zakat Karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah)


Penerjemah dan Ta’liq: Ustadz Aris Munandar, S.S., M.P.I. Hafizahullah

Dipublish: Moeslim Book Central



Orang ini berhak diberi zakat yang dapat ia pakai untuk melunasi hutangnya *Perlu diingat bahwa tidak boleh bagi orang yang menghutangi orang miskin memutihkan hutang orang miskin tersebut lantas pemutihan hutang tersebut diniatkan sebagai pembayaran zakat. Contohnya, ada orang kaya memberi hutang kepada orang miskin 10 juta. Di sisi lain orang kaya ini memiliki kewajiban membayar zakat sebesar 50 juta dari hartanya dan sudah mencapai haul (waktu jatuh tempo pembayaran zakat). Orang kaya ini tidak boleh memutihkan hutang 10 juta tersebut dengan niat dijadikan sebagai bagian dari pembayaran zakatnya yang totalnya 50 juta. Sehingga setelah itu zakat yang belum dibayarkan tersisa 40 juta. Tindakan seperti ini tidak boleh. Tidak boleh memutihkan hutang orang miskin dengan tujuan sebagai bentuk pembayaran zakat. Inilah pendapat yang lebih kuat, meski ada perselisihan pendapat ulama dalam masalah ini. Diantara alasannya adalah karena dalam sedekah (termasuk zakat) tidak dibolehkan dengan menggunakan harta yang jelek. Allah Ta’ala berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji." (Surat Al-Baqarah: 267). Piutang yang ada pada orang miskin yang bisa dipastikan tidak mampu melunasi hutang adalah harta yang jelek. Mengapa disebut harta yang jelek? Karena orang kaya tersebut sebetulnya sudah tidak lagi memiliki harapan uangnya akan kembali. Oleh karena itu, tidak dibolehkan membayar zakat dengan cara pemutihan hutang kepada orang miskin, sebagaimana larangan Allah Ta’ala dalam ayat di atas untuk bersedekah dengan harta yang jelek.*


Ulama berselisih pendapat apabila yang berhutang itu adalah orangtua atau anak. Apakah boleh diberi zakat untuk melunasi hutangnya. Pendapat yang benar hukumnya boleh *Sebagaimana penjelasan Syaikh ‘Utsaimin rahimahullahu ta’ala dalam Kitab “Syarah Riyadush Shalihin”, yaitu yang tidak diperbolehkan adalah memberi zakat kepada ushul (ayah atau kakek dan seterusnya ke atas) dan furu’ (anak atau cucu dan seterusnya ke bawah) sebagai pengganti nafkah. Artinya tidak boleh bagi seseorang untuk memberikan zakat kepada ushul dan furu’ dengan status mereka sebagai fakir miskin padahal orang tersebut sebenarnya punya kewajiban untuk menafkahi mereka. Artinya apabila seorang itu menyerahkan zakatnya kepada ushul atau furu’ yang miskin berdampak tidak ada lagi nafkah bulanan yang diberikan kepada mereka. Pemberian zakat seperti ini akan menghilangkan kewajiban menafkahi sehingga tidak diperbolehkan. Akan tetapi bila hal tersebut tidak menghilangkan kewajiban menafkahi ushul atau furu’, maka zakat tersebut hukumnya boleh. Contohnya seorang anak yang menafkahi orang tua yang miskin, lalu memberi orang tuanya uang zakat untuk melunasi hutang yang dimiliki orang tua tersebut. Dalam kondisi ini kewajiban memberi nafkah tidak hilang sehingga pembayaran zakat diperbolehkan.*.


Dibolehkan bagi shaahibul zakat (orang yang mau membayar zakat) menemui orang yang memberi hutang dan memberikan haknya (piutangnya kepada orang miskin) sebagai pembayaran zakat, meski tidak diketahui oleh orang yang berhutang. Ini berlaku jika shaahibul zakat itu mengetahui bahwa orang yang berhutang tidak mampu melunasi hutangnya *Pembayaran zakat kepada orang-orang terlilit hutang dapat dilakukan dengan 2 cara. Cara pertama, misal A memberikan hutang kepada B sebesar 10 juta. Orang yang mau membayar zakat datang menemui A dan melunasi hutang dari uang zakat. Shahib zakat meminta apabila A agar menyampaikan kepada B bahwa hutangnya sudah lunas. Hal ini dilakukan jika shaahibul zakat mengetahui bahwa orang yang berhutang tidak mampu melunasi hutangnya. Cara yang kedua, shaahibul zakat (pembayar zakat) langsung datang menemui orang yang memiliki hutang, memberikan zakat kepadanya dan berpesan agar uang tersebut hanya dipergunakan untuk melunasi hutang. Manakah yang lebih afdal (terbaik) dari dua cara ini? Jawabannya tergantung kondisi orang yang berhutang. Apabila uang zakat langsung diberikan langsung kepada orang yang berhutang kemungkinan besar uang zakat tersebut tidak digunakan untuk melunasi hutangnya justru dipergunakan untuk hal-hal yang kurang mendesak semisal untuk beli HP baru, untuk kondisi semisal ini cara terbaik adalah cara yang pertama, yaitu zakat diberikan langsung kepada orang yang menghutanginya.*.



Jangan lupa dukung kami dengan cara share & like atau belanja buku dan produk lainnya di :



MOESLIM BOOK CENTRAL


جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا كَثِيْرًا وَجَزَاكُمُ اللهُ اَحْسَنَ الْجَزَاء

Postingan Terakhir

Lihat Semua
JIHAD MELAWAN PERDUKUNAN (8)

Jihad Melawan Perdukunan Merupakan tugas bagi setiap kita semua untuk bersama-sama berjuang membasmi segala praktek perdukunan, sihir dan...

 
 
 
JIHAD MELAWAN PERDUKUNAN (7)

Penulis: Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As Sidawi Dipublish: Moeslim Book Central Hukum Mendatangi Dukun Sungguh sangat disayangkan,...

 
 
 
JIHAD MELAWAN PERDUKUNAN (6)

Penulis: Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As Sidawi Dipublish: Moeslim Book Central 4. Keempat: Menjadi musuh dan selalu dicurigai...

 
 
 

Komentar


© 2023 by Money Savvy. Proudly created with wix.com

Get Social

  • Grey Facebook Icon
  • Grey Twitter Icon
  • Grey LinkedIn Icon
  • Grey YouTube Icon
bottom of page