Ramadhan Yang Kunanti (14)
- Muhammad Basyaib
- 23 Mar 2021
- 2 menit membaca
Diperbarui: 24 Mar 2021

(Terjemah dan Ta’liq terhadap kitab Fushul fi Shiyam wat Tarawih waz Zakat Karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah)
Penerjemah dan Ta’liq: Ustadz Aris Munandar, S.S., M.P.I. Hafizahullah
Dipublish: Moeslim Book Central
Diriwayatkan Imam Malik dalam Al-Muwatha’, dari Muhammad bin Yusuf –perawi yang tsiqqatun tsabitun (terpercaya dan dapat diambil riwayatnya)-, dari Saib bin Yazid, bahwasanya ‘Umar bin AlKhatthab Radiallahu 'anhu memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dari untuk mengimami shalat Tarawih secara berjama’ah dengan 11 rakaat.
Akan tetapi jika ada yang memilih shalat Tarawih lebih dari 11 rakaat maka tidaklah mengapa *Pendapat penulis, Syaikh ‘Utsaimin Rahimahullah di buku ini shalat Tarawih 11 rakaat itu yang lebih utama. Artinya yang terbaik bilangan shalat Tarawih adalah 11 rakaat, namun jika lebih dari itu juga dipersilakan.*. Alasannya karena Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya tentang shalat malam dan beliau bersabda, “Shalat malam itu 2 rakaat 2 rakaat. Apabila salah seorang dari kalian khawatir waktu Shubuh telah tiba shalatlah 1 rakaat (witir) sebagai penutup bagi shalat sebelumnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan membiasakan shalat Tarawih dengan bilangan rakaat yang ada sunnahnya dari Nabi disertai dikerjakan dengan pelan-pelan (tidak terburu-buru), shalat diperlama tanpa menyusahkan para makmum, ini lebih utama dan lebih sempurna.
Adapun model shalat Tarawih yang dilakukan oleh sebagian orang yang terlalu cepat adalah perbuatan menyelisihi yang tuntunan agama. Apabila shalat dengan cara semisal ini menyebabkan ada wajib-wajib atau rukun-rukun shalat yang ditinggalkan *Termasuk rukun shalat adalah thuma’ninah (tenang dalam pengerjaan shalat).*, hal itu membatalkan shalat.
Hal yang sering dilakukan oleh sebagian imam shalat adalah tidak pelan-pelan (ngebut) ketika mengerjakan shalat tarawih. Ini adalah sebuah kesalahan. Imam tidaklah shalat hanya untuk dirinya saja. Melainkan ia shalat untuk dirinya dan untuk makmum *Seharusnya imam shalat bersikap sebagaimana pengasuh anak yatim atau penguasa, yaitu hanya boleh membuat kebijakan yang memberi manfaat bagi yang dipimpin.*. Wajib atas imam melakukan yang terbaik untuk makmum yang dipimpinnya. Para ulama juga menyebutkan bahwa makruh hukumnya bagi imam mengerjakan shalat dengan cepat sehingga menghalangi para makmum untuk melakukan hal yang wajib (wajib shalat) *Bahkan makruh hukumnya imam mengerjakan shalat yang menyebabkan makmum tidak dapat melakukan amal-amal yang sunnah dalam shalat. Diantara adab seorang imam shalat pula adalah memberi kesempatan kepada makmum dalam shalat agar bisa melakukan sunnah-sunnah shalat, seperti membaca dzikir tasbih saat rukuk’ dan sujud sebanyak tiga kali. *.
Hendaknya kaum muslimin antusias menegakkan shalat Tarawih ini dan tidak menyianyiakannya dengan pergi dari satu masjid ke masjid lain *Penulis (Syaikh ‘Utsaimin Rahimahullah) mengomentari fenomena di Arab Saudi. Ada orang yang dalam shalat Tarawih berpindah ke beberapa masjid.*. Karena barangsiapa yang shalat Tarawih bersama imam sampai selesai akan dicatat baginya pahala seperti pahala shalat semalam penuh, meski setelah itu ia tidur nyenyak di atas tempat tidurnya (tidak shalat malam lagi) *Cukup ke masjid terdekat untuk shalat Tarawih dan mengerjakan shalat bersama imam sampai selesai akan dicatat baginya pahala seperti shalat semalam penuh. *.
Dan tidak mengapa bagi perempuan mengikuti shalat Tarawih di masjid jika aman dari fitnah *Fitnah dalam hal ini mencakup dua hal, yaitu terfitnahnya laki-laki kepadanya, dan fitnah (gangguan) laki-laki kepadanya.*, dengan syarat perempuan tersebut keluar dari rumah dalam keadaan menampakkan rasa malu, tanpa berdandan dengan berbagai macam hiasan dan tidak pula memakai parfum/minyak wangi.
Jangan lupa dukung kami dengan cara share & like atau belanja buku dan produk lainnya di :
MOESLIM BOOK CENTRALجَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا كَثِيْرًا وَجَزَاكُمُ اللهُ اَحْسَنَ الْجَزَاء

Komentar