RAMADHAN DALAM BAYANG-BAYANG COVID-19 (8)
- Muhammad Basyaib
- 26 Mar 2021
- 3 menit membaca

Penulis: Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi
Dipublish: Moeslim Book Central
6. I’TIKAF
I’tikaf adalah berdiam diri di masjid untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza wa jalla dari seorang tertentu yang memiliki sifat-sifat tertentu. *Al-Inshaf fi Ahkamil I’tikaf hlm. 5 Ali bin Hasan al-Halabi*
Melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan merupakan sunnah yang dianjurkan, berdasarkan dalil al-Qur’an, hadits dan ijma’. Dan bisa wajib apabila dengan nadzar. *Bidayatul Mujtahid 1/426* Sebagaimana Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman dalam al-Qur’an, Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. (QS. al-Baqarah: 187)
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam sendiri melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan sampai beliau wafat. Aisyah Radiallahu 'anha berkata: Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam berdiam diri di dalam masjid pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Beliau Shalallahu 'alaihi wa sallam berkata: “Carilah Lailatul Qadr pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.” *HR. Bukhari No. 2020*
Namun jika i’tikaf menimbulkan bahaya maka cukup diganti dengan memperbanyak ibadah di rumah saja. berdasarkan dalildalil yang banyak sekali serta kaidah fiqih bahwa: “Membendung kerusakan lebih diuatamakan daripada mendapatkan kebaikan.”
7. SHALAT HARI RAYA IDHUL FITHRI
Shalat hari raya disyariatkan dan syiar Islam dengan kesepakatan ulama, bahkan sebagian ulama mengatakan hukumnya fardhu ‘ain berdasarkan hadits: Dari Ummu Athiyyah Radiallahu 'anha berkata: “Rasulullah memerintahkan kami untuk mengeluarkan gadis-gadis menjelang usia baligh, wanita-waniya yang tengah haidh dan gadis-gadis pingitan pada hari idhul Fithri dan idhul Adha. Adapun wanita yang haidh, mereka menjauhi tempat shalat dan menghadiri kebaikan dan undangan kaum muslimin. Saya berkata: Wahai Rasulullah, seorang diantara kami tidak memiliki jilbab, apakah dia diperbolehkan tidak berangkat? Rasulullah menjawab: “Hendaknya temannya meminjaminya jilbab sehingga mereka menyaksikan kebaikan dan undangan kaum muslimin”.*HR. Bukhari: 351 dan Muslim: 890.*
Dari saudarinya Abdullah bin Rawahah Al-Anshari Radiallahu 'anhu dari Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Wajib keluar bagi setiap orang yang punya nitahq (pakaian sejenis sarung/rok yang ada pengikatnya) yakni pada dua hari raya”. *Hasan. Riwayat At-Thayyalisi 1/146, Ahmad 6/358, Abu Nuaim dalam Al-Hilyah 7/163 dan Al-Baihaqi 3/306. Lihat Silsilah As-Shahihah no. 2408 dan 2115.*
Hal ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan salah satu pendapat Syafi’i dan Ahmad. Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah *Majmu’ Fatawa (23/161)*, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah *Hukmu Tariki Shalah hal. 11*, As-Syaukani *As-Sailul Jarrar (1/315)*, Shidiq Hasan Khan *Raudhah Nadiyyah (1/357-358)*, As-Shan’ani *Subulus Salam (2/135)*, Al-Albani *Tamamul Minnah (hal. 344) dan Shalataul ‘Iedhain (hal. 13) * dan lain-lain.
Dan hukum asalnya, menurut sunnah yang selalu diamalkan oleh Rasulullah dan para khalifah sepeninggal beliau, tempat pelaksanaan shalat hari raya adalah di lapangan kecuali apabila ada udzur seperti hujan, maka boleh di masjid. Pendapat ini dikuatkan oleh mayoritas ulama’. Syaikh Ahmad Syakir menukil ucapan para ulama berbagai madzhab *Lihat Ta’liq Sunan Tirmidzi (2/421-424)* lalu mengatakan: “Hadits-hadits shahih menunjukkan bahwa Nabi shalat hari raya di lapangan dan diteruskan oleh generasi selanjutnya. Tidak pernah mereka melaksanakan shalat hari raya di masjid kecuali apabila ada udzur seperti hujan atau selainnya. Inilah madzhab imam empat dan ahli ilmu lainnya.
Saya tidak mengetahui seorang ulama’pun yang menyelisihi hal itu kecuali pendapat Syafi’i yang memilih shalat di masjid apabila mencukupi penduduk negeri. Kendatipun demikian, beliau membolehkan shalat di lapangan walaupun masjid mencukupi mereka, bahkan secara tegas beliau membenci shalat hari raya di masjid apabila masjidnya tidak mencukupi penduduk negeri”.
Shalat di lapangan mempunyai hikmah yang sangat dalam yaitu kaum muslimin mempunyai dua hari dalam setahun untuk saling bertemu dengan saudara lainnya, baik pria, wanita dan anakanak guna bermunajat kepada Allah dengan satu kata, shalat di belakang satu imam, bertakbir, bertahlil dan berdo’a kepada Allah secara ikhlas seakan-akan mereka satu hati. Mereka semua bersenang gembira akan kenikmatan Allah sehinggga hari raya memiliki makna yang berarti”. *Lihat risalah “Shalah Al-‘Iedain fil Mushalla Hiya Sunnah” hal. 37 oleh Al-Albani.*
Namun karena wabah saat ini tidak memungkinkan untuk berkumpul shalat di lapangan atau di masjid karena akan membahayakan, maka hendaknya shalat id dilakukan di rumah masing-masing tanpa khutbah, seperti halnya orang yang ketinggalan shalat hari raya secara jama’ah, hendaknya shalat dua rakaat.
Imam Bukhari Rahimahullah membuat bab dalam Shahihnya “Bab apabila seorang ketinggalan shalat ‘iedh maka shalat dua rakaat”. Berkata Atha’: “Apabila ketinggalan shalat iedh maka shalat dua rakaat”.
Al-Hafidzh Ibnu Hajar Rahimahullah menjelaskan dalam Fathul Bari (2/550): “Dalam judul bab ini terdapat dua hukum:
1. Disyari’atkannya shalat ‘iedh bagi orang yang ketinggalan secara jama’ah, baik karena urusan dharuri ataukah tidak.
2. Menggantinya sebanyak dua rakaat”. Imam Malik Rahimahullah berkata: “Setiap orang yang shalat ‘iedh sendirian, baik laki-laki maupun perempuan, menurut saya dia takbir tujuh kali pada rakaat pertama sebelum membaca dan lima kali pada rakaat kedua sebelum membaca”.*Al-Muwatha’ (592)*
Jangan lupa dukung kami dengan cara share & like atau belanja buku dan produk lainnya di :
MOESLIM BOOK CENTRALجَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا كَثِيْرًا وَجَزَاكُمُ اللهُ اَحْسَنَ الْجَزَاء

Komentar