PANDUAN LENGKAP PUASA RAMADHAN Menurut al-Qur’an dan Sunnah (54)
- Muhammad Basyaib
- 16 Apr 2021
- 3 menit membaca
Penulis: Abu Abdillah Syahrul Fatwa bin Luqman,
Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi
Dipublish: Moeslim Book Central
C. Membangunkan Dengan Kentongan atau Pengeras Suara
Biasanya di sebagian kampung dan desa ada segerombolan anak muda atau juga orang tua menabuh kentongan sekitar 2–3 jam sebelum shubuh untuk membangunkan mereka agar segera sahur, seraya mengatakan: “Sahur!! Sahur!! Sahur!!” Bahkan ada sebagian yang menggunakan mikrofon masjid untuk melakukan panggilan ini.
Tidak diragukan bahwa hal itu adalah suatu kebiasaan yang dianggap ibadah, padahal tidak diajarkan agama. Seandainya perbuatan itu baik, tentu akan diajarkan oleh agama. Apalagi, kebiasaan dapat mengganggu kenyamanan tidur orang di malam hari, padahal Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman: Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (QS. al-Ahzab [33]: 58) *Lihat Kullu Bid’atin Dhalalah hlm. 194 Muhammad al-Muntashir. *
Syaikh Abdul Qadir al-Jazairi Rahimahullah berkata: “Apa yang dilakukan oleh sebagian orang jahil pada zaman sekarang di negeri kita berupa membangunkan orang puasa dengan kentongan merupakan kebid ’ahan dan kemungkaran yang seharusnya dilarang dan diingatkan oleh orang-orang yang berilmu.” *Shafwatul Bayan fi Ahkamil Iqamah wal Adzan hlm. 115–116 (muraja’ah: Syaikh al-Albani dan Syaikh Masyhur bin Hasan)*
D. Memperingati Nuzulul Qur'an
Biasanya, pada tanggal 17 Ramadhan, kebanyakan kaum muslimin mengadakan peringatan yang disebut dengan perayaan Nuzulul Qur'an sebagai bentuk pengagungan kepada kitab suci al-Qur'an. Namun, ritual tersebut perlu disorot dari dua segi:
Pertama. Dari segi sejarah, adakah bukti autentik—baik berupa dalil atau pun sejarah—bahwa al-Qur'an diturunkan pada tanggal tersebut?! Itulah pertanyaan yang kami sodorkan kepada saudarasaudaraku semua.
Kedua: Anggaplah memang terbukti bahwa al-Qur'an diturunkan pada tanggal tersebut, namun menjadikannya sebagai perayaan butuh dalil dan contoh dari Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam. Bukankah orang yang paling gembira dengan turunnya al-Qur'an adalah Rasulullah n dan para sahabatnya?! Namun demikian, tidak pernah dinukil dari mereka tentang adanya peringatan semacam ini, maka hal itu menunjukkan bahwa peringatan tersebut bukan termasuk ajaran Islam tetapi kebid’ahan dalam agama.
Ketahuilah—wahai saudaraku—bahwa perayaan tahunan dalam Islam hanya ada dua macam, Idul Fithri dan Idul Adha, berdasarkan hadits: Dari Anas bin Malik Radiallahu 'anhu berkata: “Tatkala Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam datang ke kota Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari untuk bersenang-senang (bergembira) sebagaimana di waktu jahiliah, lalu beliau bersabda: ‘Saya datang kepada kalian dan kalian memiliki dua hari raya untuk bergembira sebagaimana di waktu jahiliah. Dan sesungguhnya Allah telah mengganti ke duanya dengan yang lebih baik, Idul Fithri dan Idul Adha.’” *HR. Ahmad 3/103, Abu Dawud No. 1134, dan Nasa'i 3/179. *
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam tidak ingin umatnya membuat-buat perayaan baru yang tidak disyari’atkan Islam.
Alangkah bagusnya ucapan al-Hafizh Ibnu Rajab Rahimahullah: “Sesungguhnya perayaan tidaklah diadakan berdasarkan logika dan akal sebagaimana dilakukan oleh ahli kitab sebelum kita, tetapi berdasakan syari’at dan dalil.” *Fathul Bari 1/159, Tafsir Ibnu Rajab 1/390. * Beliau juga berkata: “Tidak disyari’atkan bagi kaum muslimin untuk membuat perayaan kecuali perayaan yang diizinkan syari’at yaitu Idul Fithri, Idul Adha, dan hari-hari tasyriq (ketiganya) tersebut perayaan tahunan, dan hari Jum’at (yang) ini perayaan mingguan. Selain itu, menjadikannya sebagai perayaan adalah bid’ah dan tidak ada asalnya dalam syari’at.” *Latha'iful Ma’arif hlm. 228*
E. Komando di antara Raka’at Shalat Tarawih
Termasuk hal yang sering kita jumpai, kaum muslimin berdzikir dan mendo’akan para Khulafa'ur Rasyidin di antara dua salam shalat tarawih—dengan cara berjama’ah dipimpin oleh satu orang—dengan mengucapkan: ... Tidak terdapat nukilan dari al-Qur'an dan dalam Sunnah tentang dzikir tersebut. Kalau memang tidak ada maka kenapa kita tidak mencukupkan diri dengan apa yang dibawa Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya? Maka hendaknya setiap muslim menjauhi hal itu karena termasuk bid’ah dalam agama yang hanya dianggap baik oleh logika.
Jangan ada yang mengatakan bahwa hal itu boleh-boleh saja karena berisi shalawat dan do’a kepada sahabat sebab merupakan amalan baik dengan kesepakatan ulama. Memang benar, shalawat dan do’a kepada sahabat adalah amalan baik, tetapi masalahnya manusia menganggapnya sebagai syi’ar shalat tarawih padahal itu merupakan tipu daya Iblis kepada mereka. Bagaimana mereka menganggap baik sesuatu yang tidak ada ajarannya dalam agama, padahal hal itu diingkari secara keras oleh Imam Syafi’i Rahimahullah dalam perkataannya: “Barang siapa yang istihsan maka ia telah membuat syari’at.” *Ucapan ini populer dari Imam Syafi’i sebagaimana dinukil oleh para imam madzhab Syafi’i seperti al-Ghazali dalam al-Mankhul hlm. 374 dan al-Mahalli dalam Jam’ul Jawami’ 2/395, dan sebagainya. (Lihat Ilmu Ushul Bida’ hlm. 121 Ali Hasan)*
Ar-Ruyani Rahimahullah berkata: “Maksud istihsan adalah ia menetapkan suatu syari’at yang tidak syar’i dari pribadinya sendiri.” *Irsyadul Fuhul hlm. 240 asy-Syaukani*
Jadi, ritual ini termasuk kebid’ahan yang harus diwaspadai dan ditinggalkan. *Lihat al-Ibda’ fi Madharil Ibtida’ hlm. 265–286 Ali Mahfuzh, al-Burhanul Mubin fi Tashaddi lil Bida’ wal Abathil 1/524, al-Amru bil Ittiba’ wan Nahyu ’anil Ibtida’ hlm. 192 as-Suyuthi (ta’liq Syaikh Masyhur Hasan), Mu’jamul Bida’ hlm. 98–99 Raid Shabri.*
Jangan lupa dukung kami dengan cara share & like atau belanja buku dan produk lainnya di :
MOESLIM BOOK CENTRAL
جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا كَثِيْرًا وَجَزَاكُمُ اللهُ اَحْسَنَ الْجَزَاء
Комментарии