PANDUAN LENGKAP PUASA RAMADHAN Menurut al-Qur’an dan Sunnah (42)
- Muhammad Basyaib
- 14 Apr 2021
- 3 menit membaca
Penulis: Abu Abdillah Syahrul Fatwa bin Luqman,
Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi
Dipublish: Moeslim Book Central
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di Rahimahullah berkata: “Sesungguhnya kaidah agama yang paling penting dan syari’at para Rasul yang paling mulia adalah memberikan nasihat kepada seluruh umat dan berupaya untuk persatuan kalimat kaum muslimin dan kecintaan sesama mereka, serta berupaya menghilangkan permusuhan, pertikaian dan perpecahan di antara mereka. Kaidah ini merupakan kebaikan yang sangat diperintahkan dan melalaikannya merupakan kemungkaran yang sangat dilarang. Kaidah ini juga merupakan kewajiban bagi setiap umat, baik ulama, pemimpin maupun masyarakat biasa. Kaidah ini harus dijaga, diketahui ilmunya, dan diamalkan karena mengandung kebaikan dunia dan akhirat yang tiada terhingga.” *Risalah fil Hatstsi ’ala Ijtima’ Kalimatil Muslimin wa Dzammit Tafarruq wal Ikhtilaf hlm. 21*
2. Yang perlu diperhatikan
Jelaslah kiranya bahwa masalah ini adalah masalah yang diperselisihkan ulama sejak dahulu hingga sekarang, hanya saja ada beberapa poin yang ingin kami tekankan di sini:
• Masalah ini bukan masalah pribadi, melainkan berkaitan dengan jama’ah dan syi’ar. Oleh karenanya, masalah ini dikembalikan kepada pemerintah dan jama’ah, dan hendaknya pribadi (tiap orang) mengikuti jama’ah.
• Hendaknya bagi semuanya untuk bertakwa kepada Allah dalam ibadah mereka dan ibadah manusia, dan hendaknya pedoman mereka dalam memilih pendapat adalah karena dalil, bukan karena fanatik golongan, negara, atau madzhab.
• Hendaknya semuanya memahami bahwa masalah ini adalah masalah perselisihan ulama yang mu’tabar, maka janganlah perselisihan ini menyebabkan permusuhan dan perpecahan dan hendaknya semuanya memahami bahwa persatuan kalimat dan barisan adalah pokok penting dalam agama Islam.
• Anggaplah seandainya suatu negara memilih pendapat yang lemah dalam masalah ini, maka hendaknya bagi kaum muslimin untuk tidak menampakkan perbedaan pendapat apabila hal itu akan menyulut perselisihan dan janganlah kaum muslimin mencela pemerintah dalam pilihan mereka.
Sungguh sangat disayangkan, bila ibadah yang mulia ini dijadikan alat untuk fanatik golongan, fanatik negara, atau membela pendapat, sehingga masing-masing berusaha agar pendapatnya didengar oleh masyarakat dengan embel-embel agama, tanpa menjaga kaidah maslahat dan mengamalkan dalil terkuat!!!
Kita memohon kepada Allah agar memberi kita ilmu pengetahuan dalam agama dan mengikuti Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam secara sempurna serta kesungguhan dalam persatuan kaum muslimin di atas petunjuk yang lurus. *Lihat Hakadza Kana Nabi fi Ramadhan hlm. 19–21 Faishal bin Ali al-Ba’dani*
B. Penetapan Awal Bulan Dengan Ilmu Hisab
Telah kita ketahui bersama bahwa syari’at Islam hanya menggunakan dua cara yang meyakinkan untuk mengetahui masuk dan berakhirnya bulan Ramadhan yaitu ru'yah *Ru'yah adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang tampak pertama kali setelah terjadinya ijtima’ (bulan baru). Ru'yah dapat dilakukan dengan mata telanjang atau dengan alat bantu optik seperti teleskop. Majelis Ulama Arab Saudi membolehkan penggunaan alat ini dalam rapat yang mereka gelar pada bulan Dzulqa’dah 1403 H. (Lihat Fiqih Nawazil 2/279 al-Jizani)* (melihat hilal) atau ikmal (menyempurnakan 30 hari apabila bulan sabit tidak kelihatan), karena hal itu lebih mudah dan lebih meyakinkan.
Adapun hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam dimulainya awal bulan hijriah. *Pilih Hisab atau Ru'yah? hlm. 29* Nah, persoalannya, bolehkah penentuan puasa dan hari raya dengan hisab?
Bila kita cermati dalil-dalil tentang masalah ini berdasarkan alQur'an, hadits, dan keterangan para ulama, niscaya akan kita dapati bahwa penentuan awal dan akhir bulan Ramadhan dengan ilmu hisab adalah pendapat yang lemah dan tidak dibangun di atas kekuatan dalil. Berikut sebagian dalil tentang tidak bolehnya penggunaan hisab:
1. Dalil al-Qur'an
Barang siapa di antara kamu hadir (melihat) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (QS. al-Baqarah [2]: 185)
Makna syahadah dalam ayat ini adalah melihat. *Lihat al-Qamus al-Muhith hlm. 372 Fairuz Abadi dan at-Tamhid 7/149 Ibnu Abdil Barr*
2. Dalil Hadits
Hadits-hadits Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam banyak sekali *Bahkan berderajat mutawatir sebagaimana dalam Nadhmul Mutanatsir hlm. 139 al-Kattani.* yang memerintahkan melihat hilal atau menyempurnakan, dan tak pernah sekali pun beliau menganjurkan untuk menetapkannya dengan ilmu hisab.
“Apabila kalian melihat hilal maka berpuasalah dan apabila kalian melihatnya maka berharirayalah, dan apabila terhalang oleh kalian maka sempurnakanlah tiga puluh hari.” *HR. Bukhari 4/106, Muslim No. 1081*
Jangan lupa dukung kami dengan cara share & like atau belanja buku dan produk lainnya di :
MOESLIM BOOK CENTRAL
جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا كَثِيْرًا وَجَزَاكُمُ اللهُ اَحْسَنَ الْجَزَاء
Comentários