PANDUAN LENGKAP PUASA RAMADHAN Menurut al-Qur’an dan Sunnah (11)
- Muhammad Basyaib
- 3 Apr 2021
- 4 menit membaca
Penulis: Abu Abdillah Syahrul Fatwa bin Luqman,
Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi
Dipublish: Moeslim Book Central
Kedua. Hal itu lebih cepat melepaskan diri dari tanggungan.
Ketiga. Lebih ringan bagi seorang hamba, karena berpuasa bersama manusia lebih ringan, dan apa yang lebih ringan maka lebih utama.
Keempat. Puasanya bertepatan dengan bulan Ramadhan, dan bulan Ramadhan lebih utama daripada bulan lainnya. Karena alasan-alasan inilah, kami katakan bahwa puasa lebih utama.” *Asy-Syarh al-Mumthi’ 6/330*
2. Orang yang sakit
Orang yang sakit terbagi menjadi dua golongan:
Pertama. Orang yang sakitnya terus-menerus, berkepanjangan, tidak bisa diharapkan sembuh dengan segera—seperti sakit kanker dan lainnya—maka dia tidak wajib puasa karena keadaan sakit seperti ini tidak bisa diharapkan untuk puasa. Orang yang keadaan sakitnya seperti ini maka hendaknya ia memberi makan satu orang miskin sebanyak hari yang ditinggalkan.
Kedua. Orang yang sakitnya bisa diharapkan sembuh, seperti sakit demam (panas) dan sebagainya. Orang yang sakit seperti ini tidak lepas dari tiga keadaan:
• Puasa tidak memberatkannya dan tidak membahayakan. Wajib baginya untuk puasa karena dia tidak punya udzur.
• Puasa memberatkannya tetapi tidak membahayakan dirinya. Dalam keadaan seperti ini puasa dibenci, karena apabila berpuasa berarti dia berpaling dari keringanan Allah, padahal dirinya merasa berat.
• Puasa membahayakan dirinya. Maka haram baginya untuk puasa karena apabila puasa maka berarti dia mendatangkan bahaya bagi dirinya sendiri. Allah berfirman: Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. an-Nisa' [4]: 29)
Untuk mengetahui bahaya atau tidaknya puasa bagi yang sakit, bisa dengan perasaan dirinya kalau puasa akan berbahaya, atau atas diagnosa dokter yang terpercaya. Maka kapan saja seorang yang sakit tidak puasa dan termasuk golongan ini, hendaklah dia mengganti puasa yang ditinggalkan apabila dia sudah sembuh dan sehat. Apabila dia meninggal dunia sebelum dia sembuh maka gugurlah utang puasanya, karena yang wajib baginya adalah untuk mengqadha puasa di hari yang lain yang dia sudah mampu melakukannya, sedangkan dia tidak mendapati waktu tersebut. *Fushulun fish Shiyam hlm. 9 Ibnu Utsaimin*
3. Wanita hamil dan menyusui
Wanita hamil dan menyusui ada tiga keadaan:
Pertama. Apabila wanita hamil dan menyusui khawatir dengan puasanya dapat membahayakan dirinya saja, maka ia boleh berbuka dan wajib mengqadha di hari yang lain kapan saja sanggupnya menurut pendapat mayoritas ahli ilmu, karena dia seperti orang yang sakit yang khawatir terhadap kesehatan dirinya. Allah berfirman: Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (QS. al-Baqarah [2]: 184)
Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan: “Walhasil, bahwa wanita yang hamil dan menyusui, apabila khawatir terhadap dirinya maka boleh berbuka dan wajib mengqadha saja. Kami tidak mengetahui ada perselisihan di antara ahli ilmu dalam masalah ini, karena keduanya seperti orang sakit yang takut akan kesehatan dirinya.” *Al-Mughni 4/394*
Kedua: Apabila wanita hamil dan menyusui khawatir dengan puasanya dapat membahayakan dirinya dan anaknya, maka boleh baginya berbuka dan wajib mengqadha seperti keadaan pertama. Imam an-Nawawi mengatakan: “Para sahabat kami mengatakan: ‘Orang yang hamil dan menyusui apabila keduanya khawatir puasanya dapat membahayakan dirinya maka dia berbuka dan mengqadha, tidak ada fidyah karena dia seperti orang yang sakit, dan semua ini tidak ada perselisihan. Apabila orang yang hamil dan menyusui khawatir puasanya membahayakan dirinya dan anaknya dia juga berbuka dan mengqadha tanpa ada perselisihan.’” *Al-Majmu’ 6/177. Lihat pula Fathul Qadir 2/355 Ibnul Humam.*
Ketiga: Apabila wanita hamil dan menyusui khawatir puasanya akan membahayakan kesehatan *Patokan bahaya yang membolehkan berbuka adalah apabila dugaan kuatnya membahayakan atau telah terbukti berdasarkan percobaan bahwa puasa membahayakan. Atau atas diagnosa dokter terpercaya bahwa puasa bisa membahayakan bagi anaknya seperti kurang akal atau sakit, bukan sekadar kekhawatiran yang tidak terbukti!!* janin atau anaknya saja, tidak terhadap dirinya, maka dalam masalah ini terjadi silang pendapat di antara ulama hingga terpolar sampai enam pendapat. *Ahkam Mar'ah al-Hamil hlm. 54 Yahya Abdurrahman al-Khathib* Setidaknya ada tiga pendapat yang masyhur:
• Wajib qadha saja, ini pendapat Hasan Bashri, Atha', Dhahak, Nakha'i, Zuhri, Rabi’ah, al- Auza’i.
• Wajib fidyah saja, ini pendapat Sa’id bin Jubair.
• Wajib qadha dan fidyah, ini adalah pendapat Mujahid dan Syafi’i.
Berkata Imam Ibnul Mundzir v setelah memaparkan perselisihan ulama dalam masalah ini: “Dengan pendapat Hasan dan Atha' kami berpendapat.” *Al-Isyraf ’ala Madzahibil Ulama 3/152 * Yakni hanya wajib qadha saja tanpa bayar fidyah.”
Masalah ini memang sangat rumit karena hujjah masing-masing pendapat cukup kuat. Hanya, yang lebih menenteramkan hati kami bahwa pada asalnya seorang wanita hamil dan menyusui tetap harus mengqadha puasa saja, sedangkan dalil-dalil tentang fidyah kita bawa kepada kondisi apabila dia tidak mampu untuk puasa seterusnya *Lihat Fatawa Ibnu Utsaimin hlm. 552.* atau kita bawa kepada keadaan bahwa itu adalah sunnah bukan wajib. *Mungkin inilah maksud perkataan Imam al-Jauhari dalam kitabnya Nawadirul Fuqaha' hlm 59: “Para ulama sepakat bahwa wanita hamil apabila khawatir dengan puasanya terhadap janinnya, maka boleh berbuka dan dia mengqadha dan tidak ada kaffarat baginya, hanya saja mereka berselisih tentang apa yang disunnahkan.”* Wallahu A’lam.
Jangan lupa dukung kami dengan cara share & like atau belanja buku dan produk lainnya di :
MOESLIM BOOK CENTRALجَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا كَثِيْرًا وَجَزَاكُمُ اللهُ اَحْسَنَ الْجَزَاء

Komentar