MEREKA YANG MERUGI (5)
- Muhammad Basyaib
- 19 Mar 2021
- 3 menit membaca
Diperbarui: 20 Mar 2021

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Dipublish: Moeslim Book Central
Beramal Saleh
Ilmu dicari dengan tujuan untuk diamalkan. Manfaat mengamalkan ilmu disebutkan dalam ayat, “Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan balasan ketakwaannya. “ (QS. Muhammad: 17).
Para ulama berkata, “Siapa yang mengamalkan apa yang ia ilmui, maka Allah akan wariskan ilmu kepadanya yang ia tidak ketahui.”
Jika ilmu tidak diamalkan maka ilmu akan menjadi argumen yang menjatuhkannya.
Dari Usamah bin Zaid Radiallahu 'anhu, Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Ada seseorang yang didatangkan pada hari kiamat lantas ia dilemparkan dalam neraka. Usus-ususnya pun terburai di dalam neraka. Lalu dia berputar-putar seperti keledai memutari penggilingannya. Lantas penghuni neraka berkumpul di sekitarnya lalu mereka bertanya, “Wahai fulan, ada apa denganmu? Bukankah kamu dahulu yang memerintahkan kami kepada yang kebaikan dan yang melarang kami dari kemungkaran?” Dia menjawab, “Memang betul, aku dulu memerintahkan kalian kepada kebaikan tetapi aku sendiri tidak mengerjakannya. Dan aku dulu melarang kalian dari kemungkaran tapi aku sendiri yang mengerjakannya.” (HR. Bukhari, no. 3267 dan Muslim, no. 2989).
Selama kita tidak mengamalkan ilmu berarti kita disebut bodoh. Sebagaimana kata Fudhail bin ‘Iyadh Rahimahullah, “Seseorang yang berilmu tetap disebut bodoh sampai ia mengamalkan ilmu. Jika ia mengamalkan ilmu, barulah disebut sebagai ‘alim.”
Kenapa demikian? Karena orang yang tidak mengamalkan ilmu tidaklah berbeda seperti dengan orang bodoh sampai ia mau mengamalkan ilmunya.
Kalau kita lihat praktik para salaf, mereka selalu berusaha mengamalkan ilmunya. Ibnu Mas’ud Radiallahu 'anhu berkata, “Dahulu orang-orang di antara kami (yaitu para sahabat Nabi) mempelajari sepuluh ayat Qur’an, lalu mereka tidak melampauinya hingga mengetahui maknamaknanya, serta mengamalkannya.” (Muqaddimah Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu Katsir).
Lihatlah pula perkataan Ibnu Mas’ud Radiallahu 'anhu, “Siapa yang belajar ilmu (agama) lantas ia tidak mengamalkannya, maka hanya kesombongan pada dirinya yang terus bertambah.” (Disebutkan oleh Imam Adz-Dzahabi dalam Al-Kabair, hlm. 75).
Imam Adz-Dzahabi Rahimahullah berkata, “Adapun hari ini, hanya sedikit ilmu yang tersisa yang ditemui pada orang-orang yang jumlahnya sedikit. Yang mengamalkannya pun sedikit. Hasbunallah wa ni’mal wakil, hanya Allah yang memberikan kecukupan dan pertolongan.” (Tadzkirah Al-Hafizh, 3:1031).
Ilmu yang bermanfaat tentu saja adalah ilmu yang diamalkan. Di antara doa Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam adalah meminta supaya dijauhkan dari ilmu yang tidak bermanfaat, “ALLAHUMMA INNI A’UDZU MIN ‘ILMIN LAA YANFA’, WA MIN QOLBIN LAA YAKHSYA’, WA MIN NAFSIN LAA TASYBA’, WA MIN DA’WATIN LAA YUSTAJAABU LAHAA (artinya: Ya Allah, aku meminta perlindungan pada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari jiwa yang tidak pernah merasa puas, dan dari doa yang tidak dikabulkan).” (HR. Muslim, no. 2722).
Dua syarat beramal saleh
Allah Azza wa jalla berfirman, “Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabbnya.” (QS. Al-Kahfi: 110)
Ibnu Katsir Asy-Syafi’i Rahimahullah dalam kitab tafsirnya menjelaskan, “Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih”, maksudnya adalah mencocoki syariat Allah (mengikuti petunjuk Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam). Dan “janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribada kepada Rabbnya”, maksudnya selalu mengharap wajah Allah semata dan tidak berbuat syirik pada-Nya. Inilah dua rukun diterimanya ibadah, yaitu harus ikhlas karena Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam.”
Al-Fudhail bin ‘Iyadh Rahimahullah tatkala menjelaskan mengenai firman Allah, “Supaya Allah menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al-Mulk: 2), beliau Rahimahullah mengatakan, “yaitu amalan yang paling ikhlas dan showab (mencocoki ajaran Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam).”
Al-Fudhail bin ‘Iyadh Rahimahullah lalu mengatakan, “Yang namanya amalan jika niatannya ikhlas namun tidak benar, maka tidak diterima. Sama halnya jika amalan tersebut benar namun tidak ikhlas, juga tidak diterima. Amalan tersebut barulah diterima jika ikhlas dan benar. Yang namanya ikhlas, berarti niatannya untuk menggapai ridha Allah saja. Sedangkan disebut benar jika sesuai dengan petunjuk Rasul Shalallahu 'alaihi wa sallam.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:72).
Jangan lupa dukung kami dengan cara share & like atau belanja buku dan produk lainnya di :
MOESLIM BOOK CENTRALجَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا كَثِيْرًا وَجَزَاكُمُ اللهُ اَحْسَنَ الْجَزَاء

Komentar