top of page

JANGAN GEGABAH MEMVONIS KAFIR (BAGIAN : 8)

Diperbarui: 25 Feb 2021



ree

Disusun : Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi

Dipublish : Moeslim Book Central



BAB KE-8 ~ SYARAT DAN PENGHALANG TAKFIR


Termasuk kaidah fiqih yang sangat berharga adalah bahwa sesuatu hukum itu tidak sempurna kecuali apabila terpenuhi syarat-syaratnya dan hilang segala penghalangnya. Contoh penerapan kaidah ini banyak sekali, baik dalam wudhu, shalat, pernikahan, jual beli, dan sebagainya. *Lihat al-Qawa’id wal Ushul Jami’ah karya as-Sa’di hlm. 33–35, Syarh Qawa’id as-Sa’diyyah karya Syaikh Abdul Muhsin az-Zamil hlm. 85–89, Syarh Mandhumah Qawa’id Fiqhiyyah karya Dr. Abdul Aziz al-’Uwaid hlm. 235–23* Di antaranya juga adalah masalah takfir yang menjadi topik pembahasan kita kali ini.


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rhahimahullah berkata: Pengkafiran itu memiliki syarat-syarat dan penghalang. Maka pengkafiran secara mutlak tidak mengharuskan pengkafiran secara individu orang kecuali apabila terpenuhi syarat dan hilang segala penghalangnya. Hal yang menunjukkan hal ini bahwa mam Ahmad dan mayoritas para imam yang sering mengatakan secara umum bahwa barang siapa yang mengatakan atau melakukan ini adalah kafir, namun mereka tidak mengkafirkan kebanyakan orang yang mengatakan ucapan tersebut. *Majmu’ Fatawa 12/487*


Oleh karenanya, penting sekali kita mengetahui masalah ini agar kita mengetahui betapa ketatnya masalah ini:


A. Baligh dan Berakal

Hal ini berdasarkan dalil bahwa anak kecil dan orang yang tidak berakal diangkat pena dari mereka, sebagaimana dalam hadits: “Pena itu diangkat dari tiga golongan: dari orang tidur hingga dia bangun, anak kecil hingga dewasa dan orang gila hingga sadar.” *HR. Ahmad 24694, Ibnu Majah 2041, al-Hakim 2/67 dan dishahihkan al-Albani dalam Irwaul Ghalil 2/5*


Hadits ini menunjukkan akan gugurnya beban dari tiga golongan tersebut. Dan dari hadits ini pula para ulama mengambil kaidah ushul yang populer bahwa baligh dan berakal adalah syarat taklif (beban hukum). *Lihat al-Qawa’id wal Fawaid al-Ushuliyyah hlm. 33 oleh Ibnu Lahham dan al-Qawa’id wal Ushul Jami’ah hlm. 33 oleh as-Sa’di.*


Para ulama juga menilai bahwa baligh dan berakal adalah syarat untuk menghukumi seorang tertentu dengan kekafiran, sehingga mereka tidak menganggap murtadnya anak kecil dan orang gila. *Lihat al-Ijma’ hlm. 122 oleh Ibnul Mundzir, al-Mughni 12/266 karya Ibnu Qudamah.*


B. Sengaja

Ini juga syarat yang penting. Adapun apabila seorang salah bicara atau berbuat tanpa kesengajaan dan kemauan dari dirinya, baik baik karena terpaksa, sangat takut, sangat gembira dan lain sebagainya, maka tidak bisa dikafirkan.


Dalil tentang masalah keterpaksaan adalah firman Allah Subhanahu wa ta'ala: Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar. (QS. an-Nahl: 106)


Dalil tentang karena sangat gembira adalah kisah Nabi Shahallahu 'alaihi wa sallam bahwa Allah lebih bergembira dengan taubat hamba-Nya daripada gembiranya seorang yang berada di tengah padang pasir lalu kehilangan hewan tunggangan yang membawa perbekalan safarnya, lalu dia istirahat dengan putus asa, ternyata tiba-tiba hewannya datang kembali. Melihat hal itu, karena sangat gembiranya dia mengatakan: “Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah rabb-Mu.” Dia salah berucap karena sangat gembiranya. *HR. Bukhari: 2747 dan Muslim 4/2104* Lihatlah orang ini, dia mengatakan bahwa Allah Subhanahu wa ta'ala adalah hambanya dan dia adalah rabbnya Allah Subhanahu wa ta'ala. Bukankah ini adalah suatu kekufuran? Namun, tatkala dia mengatakan hal itu di luar kesadarannya, maka hal itu dimaafkan. Al-Qadhi Iyadh Rhahimahullah berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa apa yang dikatakan oleh seseorang di luar kesadarannya baik karena gembira atau lalai maka tidaklah berdosa.*Ikmalul Mu’lim 8/245 * 


Dalil tentang sangat takut adalah kisah Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam tentang seorang yang mengatakan: “Jika aku telah meninggal maka bakarlah aku, kemudian tumbuklah halus-halus, lalu buanglah ke lautan. Kalau memang Allah Subhanahu wa ta'ala membangkitkanku, maka Dia akan menyiksaku dengan siksaan yang tidak pernah ada di alam ini.” Akhirnya mereka pun melaksanakan wasiat tersebut. Tatkala Allah Subhanahu wa ta'ala membangkitkannya, Allah Subhanahu wa ta'ala bertanya kepadanya: “Apa yang membuatmu melakukan ini?” Jawabnya: “Aku takut kepada-Mu.” Lantas Allah mengampuninya.” *HR. Bukhari: 6481 dan Muslim: 2756* Lihatlah orang ini, dia mengingkari kemampuan Allah Subhanahu wa ta'ala untuk membangkitkan hamba setelah kematian. Bukankah ini adalah suatu kekufuran?! Namun, karena dia melakukannya karena sangat takutnya kepada Allah Subhanahu wa ta'ala, maka Allah Subhanahu wa ta'ala mengampuninya.


C. Sampai Hujjah Kepadanya

Ini adalah syarat yang penting. Adapun apabila orang tersebut adalah jahil (bodoh) maka tidak dikafirkan. Dalil tentang masalah ini banyak sekali. Di antaranya adalah permintaan para sahabat agar dibuatkan untuk mereka dzatu anwat guna ngalap berkah dan i’tikaf di sana sebagaimana kaum musyrikin, namun Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam tidak mengkafirkan mereka yang meminta tersebut.


Hal ini sangat jelas menunjukkan bahwa orang jahil diberi udzur sampai tegak hujjah padanya. Mereka adalah generasi terbaik yang hidup pada zaman Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam. Lantas bagaimana kiranya dengan selain mereka yang lebih jahil dan jauh dari zaman Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam?! *Ad-Durr an-Nadhid hlm. 9. *


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rhahimahullah berkata: Adapun takfir (menganggap kafir), ini termasuk ancaman yang keras. Memang barang kali seseorang melakukan perbuatan kufur, tetapi pelakunya bisa jadi baru masuk Islam, atau hidup di perkampungan yang jauh dari agama, maka orang seperti ini tidak dapat dikafirkan sehingga tegak hujjah atasnya, atau bisa jadi orang tersebut belum mendengar nash-nash, atau mendengarnya tetapi masih rancu, maka orang seperti ini sama dengan yang di atas, sekalipun dia salah. *Majmu’ Fatawa 12/465–466*


Imam adz-Dzahabi  berkata: Seorang tidak berdosa kecuali setelah dia mengetahui hukumnya dan ditegakkan hujjah padanya. Allah Maha Lembut dan Kasih Sayang. Allah  berfirman: Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul. (QS. Al-Isra’: 15)


Para sahabat ketika di Habsyah, telah turun wahyu kepada Nabi Shalallahu ;alaihi wa sallam berupa kewajiban dan larangan, namun beliau tidak menyampaikan kepada mereka kecuali setelah beberapa bulan, mereka pada saat itu diberi udzur sampai datang dalil kepada mereka. Demikian pula diberi udzur orang yang tidak mengetahui sehingga dia mendengarkan dalilnya. Wallahu A’lam. *Al-Kabair hlm. 12 *


D. Bukan Karena Takwil

Maksud dari syarat ini adalah bahwa ada sebagian orang yang sudah mengerti dalil tetapi dia mengartikan makna lain yang tidak benar sehingga dia terjatuh dalam kesalahan tanpa sadar. 


Dalil tentang hal ini adalah kisah Muadz bin Jabal Rhadiallahu 'anhu yang sujud kepada Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam, lalu Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepadanya: “Apa ini, wahai Muadz?” Dia menjawab: “Saya datang ke Syam dan saya dapati mereka sujud kepada pendeta-pendeta mereka, maka saya ingin melakukan hal itu kepada dirimu, wahai Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam, kemudian Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Jangan lakukan hal itu, karena seandainya .”saya boleh memerintahi orang untuk sujud kepada selain Allah niscaya saya akan memerintahi seorang istri untuk sujud kepada suaminya.” *HR. Ibnu Majah 1853, Ahmad 32/145 dan dishahihkan al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah 1203.*


Dalam hadits ini, Muadz Rhadiallahu 'anhu telah sujud kepada Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan sujud kepada selain Allah adalah suatu kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. *Majmu’ Fatawa karya Ibnu Taimiyyah 1/74* Namun, tatkala perbuatan Muadz tersebut disebabkan karena takwil, di mana dia menganggap hal itu adalah sebagai bentuk penghormatan dan pengagungan kepada Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam, maka Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam tidak mengkafirkannya, tetapi hanya melarangnya saja dan menjelaskan bahwa sujud itu tidak boleh diperuntukkan kepada selain Allah. *Lihat pembahasan ini dalam at-Takfir wa Dhawabituhu oleh Dr. Ibrahim ar-Ruhaili hlm. 263–297. *



Jangan lupa dukung kami dengan cara share & like atau belanja buku dan produk lainnya di :



MOESLIM BOOK CENTRAL


جَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا كَثِيْرًا وَجَزَاكُمُ اللهُ اَحْسَنَ الْجَزَاء


Komentar


© 2023 by Money Savvy. Proudly created with wix.com

Get Social

  • Grey Facebook Icon
  • Grey Twitter Icon
  • Grey LinkedIn Icon
  • Grey YouTube Icon
bottom of page