JANGAN GEGABAH MEMVONIS KAFIR (BAGIAN : 7)
- Muhammad Basyaib
- 9 Feb 2021
- 8 menit membaca
Diperbarui: 25 Feb 2021

Disusun : Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi
Dipublish : Moeslim Book Central
BAB KE-7 ~ KAIDAH-KAIDAH PENTING DALAM TAKFIR
Tidak sepantasnya seorang berkecimpung dalam masalah takfir sebelum dia memahami kaidah-kaidahnya. Jika bila tidak memahaminya, maka dia akan terjatuh dalam kehancuran dan dosa serta mendapatkan kemurkaan Allah. Hal itu karena pengkafiran adalah masalah besar dalam agama dan masalah yang sangat jeli, tidak mampu menerapkannya kecuali orang yang memiliki ilmu luas dan pemahaman yang tajam. Berikut ini beberapa kaidah-kaidah penting dalam masalah takfir:
A. Pengkafiran Adalah Hukum Syarāi dan Hak Allah
Takfir adalah hukum syarāi dan hak Allah, bukan hak suatu lembaga atau kelompok, bukan berdasar pada akal, perasaan, emosi, atau permusuhan, maka tidak boleh mengkafirkan kecuali orang yang dikafirkan oleh Allah dan rasul-Nya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rhahaimahullahļ berkata: Hal ini berbeda dengan ucapan sebagian manusia seperti Abu Ishaq al-Isfirayini dan pengikutnya yang mengatakan: āKita tidak mengkafirkan kecuali orang yang mengkafirkan kita.ā Sebab, pengkafiran bukanlah hak mereka, melainkan hak Allah. Tidak boleh bagi manusia untuk membalas berdusta kepada orang yang pernah berdusta padanya, atau melakukan zina kepada istri orang yang berzina dengan istrinya, bahkan seandainya ada seorang yang memaksanya untuk homoseks maka tidak boleh baginya untuk membalasnya dengan paksaan untuk homoseks, karena semua itu adalah haram disebabkan hak Allah. Demikian juga seandainya orang-orang Nasrani mencela Nabi kita Shalallahu 'alaihi wa sallamļ maka tidak boleh bagi kita untuk mencela Isa al-Masih 'alaihi sallam ļ, dan kaum Rafidhah apabila mengkafirkan sahabat Abu Bakar dan Umar, maka tidak boleh bagi kita untuk mengkafirkan Ali. *Minhaj Sunnah 5/244*
Al-Qarrafi berkata: āSesuatu itu disebut kufur bukanlah berdasarkan logika melainkan berdasarkan syariāat, kalau syariāat mengatakan bahwa hal itu adalah kekufuran maka itu adalah kekufuran.ā *Tahdzib al-Furuq 4/158*
Ibnul Wazir ļRhahimahullah berkata: āSesungguhnya takfir itu berdasarkan dalil saja, tidak ada ruang untuk akal, dan dalilnya pun harus dalil yang pasti dan tidak ada perselisihan di dalamnya.ā *Al-Awashim wal Qawashim 4/178*
Ibnul Qayyim ļ berkata dalam Nuniyah-nya:
Pengkafiran itu adalah hak Allah kemudian rasul-Nya
Yang ditetapkan dengan nash bukan dengan ucapan fulan
Siapakah yang dikafirkan oleh Rabb semesta alam dan rasul-Nya Maka dialah orang yang kafir. *Syarh Qashidah Nuniyah 2/412 oleh Syaikh Dr. Muhammad Khalil Harras*
B. Pada Asalnya Seorang Muslim Tetap Dalam Keislamannya
Ini kaidah penting yang harus dipahami, yaitu hukum asal seorang muslim adalah tetap dalam keislamannya sehingga ada dalil kuat yang mengeluarkannya dari keislaman. Tidak boleh bagi kita untuk gegabah dalam mengkafirkannya karena hal itu membawa dua dampak negatif yang sangat berbahaya:
⢠Pertama: Membuat kedustaan atas Allah dalam hukum kafir kepada orang yang dia kafirkan.
⢠Kedua: Terjatuh dalam ancaman kafir kalau ternyata yang dia kafirkan tidak kafir, sebagaimana dalam hadits: āApabila seorang mengkafirkan saudaranya maka akan kembali kepada salah satunya.ā
Oleh karena itu, seharusnya sebelum menghukumi seorang muslim dengan kekafiran hendaknya memperhatikan dua hal penting:
⢠Pertama: Adanya dalil-dalil dari al-Qurāan dan Sunnah yang menetapkan bahwa ucapan dan perbuatan tersebut merupakan kekufuran.
⢠Kedua: Hukum tersebut betul-betul terpenuhi pada pelontar atau pelaku tersebut, dalam artian telah terpenuhi syarat-syaratnya dan tidak ada penghalang-penghalangnya. *Al-Qawaāid al-Mutsla fi Shifatillah wa Asmaihi Husna hlm. 87ā89 oleh Syaikh Ibnu Utsaimin*
Sesungguhnya kita hanya menghukumi secara zhahir saja baik dalam hukum atau keyakinan orang lain. Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallamļ yang mendapatkan wahyu, beliau menerapkan hukum zhahir pada orangorang munafik. *Al-Muwafaqat 2/271 oleh asy-Syathibi *
Orang-orang munafik secara zhahir shalat, puasa, haji, perang, nikah, dan saling mewarisi dengan kaum muslimin pada zaman Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam , sekalipun demikian beliau tidak menghukumi orang-orang munafik dengan hukum orang kafir, bahkan tatkala Abdullah bin Ubaiātokoh munafik yang paling terkenalāmeninggal dunia, Rasulullah ļShalallahu 'alaihi wa sallam memberikan hak waris kepada anaknya yang notabene termasuk seorang sahabat sejati. Maka hukum Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallamļ dalam masalah darah dan harta mereka sama seperti muslimin lainnya, beliau tidak menghalalkan harta dan darah mereka kecuali dengan perkara yang zhahir (tampak), padahal beliau mengetahui kemunafikan kebanyakan orang-orang munafik tersebut. *Al-Iman Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah hlm. 198ā201*
Dalil yang sangat jelas tentang hal ini adalah hadits Usamah ļsebagai berikut: ŁPernah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallamļ mengutus kami dalam peperangan kecil, lalu pagi-pagi kami mendatangi huruqat sebuah tempat kaum Juhainah, dan saya mengejar seorang lelaki, tapi dia mengatakan: āLa Ilaha illa Allah.ā Aku membunuhnya, hati tidak enak dengan hal itu maka aku tanyakan kepada Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallamļ, beliau bersabda: āApakah setelah dia mengatakan La Ilaha illa Allah kamu membunuhnya?!ā Saya berkata: āYa Rasulullah, dia mengatakannya karena takut pedang.ā Beliau menjawab: āKenapa engkau tidak membelah hatinya saja agar kamu tahu apakah benar dia mengatakannya karena takut ataukah tidak.ā Beliau terus-menerus mengulang ucapan tersebut sehingga saya berangan-angan seandainya baru masuk Islam saat itu. *HR. Bukhari: 4269 dan Muslim: 159*
Imam Nawawi Rhahimahullahļ berkata: Makna hadits ini kamu hanya dibebani dengan amalan yang tampak saja dan apa yang diucapkan oleh lisan. Adapun apa yang di dalam hati, maka kamu tidak mungkin mengetahuinya. Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallamļ mengingkari Usamah tatkala dia tidak menerapkan hukum zhahir ini ā¦. Dalam hadits ini terdapat kaidah yang terkenal dalam fiqih dan ushul bahwa āHukum itu berdasarkan yang tampak saja, Allah yang mengurusi urusan hatiā. *Syarh Muslim 2/104 *
C. Tidak Dikafirkan Kecuali yang Disepakati Ahlu Sunnah Kekafirannya
Berkata Imam Ibnu Abdil Barr Rhahimahullah ļ: Setiap orang yang telah tetap keislamannya dengan kesepakatan kaum muslimin, lalu dia melakukan suatu dosa sehingga mereka diperselisihkan tentang kekafiran mereka, perselisihan ini (tentang kafirnya) setelah kesepakatan mereka (tentang keislaman mereka) tidak memiliki arti yang bisa menjadikannya hujjah. Seorang tidak keluar dari keislaman yang disepakati kecuali dengan kesepakatan juga atau sunnah shahihah yang tidak ada penentangnya.
Ahlus Sunnah wal Jamaāahāahli fiqih dan ahli haditsātelah bersepakat bahwa seorang yang melakukan dosaāsekalipun dosa besarātidak keluar dari agama Islam, sekalipun ahli bidāah menyelisihi mereka dalam hal ini. Maka sewajibnya untuk tidak mengkafirkan kecuali yang disepakati oleh semuanya tentang kekafiran mereka atau adanya dalil paten dari al-Qurāan dan sunnah tentang kekafirannya. *At-Tamhid 17/21 *
Ibnu Bathal Rhahimahullahļ berkata: Kalau ada perselisihan dalam hal ituākafirnya Khawarijāmaka tidak bisa dipastikan keluarnya mereka dari Islam, karena orang yang sudah jelas keislamannya dengan yakin maka tidak keluar dari Islam kecuali dengan yakin juga. *Fathul Bari 12/314*
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rhahimahullahļ berkata: āKita tidak mengkafirkan kecuali apa yang disepakati oleh ulama semuanya.ā *Ad-Durar Saniyyah 1/70*
D. Wajibnya Menegakkan Hujjah Kepada yang Dikafirkan
Banyak sekali dalil yang mendasari hal ini yaitu bahwa seorang muslim tidaklah kafir dengan ucapan atau perbuatan atau keyakinan kecuali setelah tegaknya hujjah padanya dan dihilangkannya segala kerancuan yang melekat pada dirinya. Allah ļ Subhanahu wa ta'ala berfirman: Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul. (QS. al-Israā: 15) Ł
Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. an-Nisaā: 115)
Dan masih banyak lagi ayat dan hadits lainnya yang menunjukkan secara jelas bahwa Allah ļ tidak menyiksa seorang pun kecuali setelah ditegakkan hujjah dan dihilangkan kerancuannya, sehingga jelas baginya jalan petunjuk dan jalan kesesatan.
Imam Bukhari Rhahimahullahļ berkata: āBab memerangi khawarij dan para penyeleweng setelah ditegakkan hujjah atas mereka.ā Firman Allah Subhanahu wa ta'alaļ : Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka sehingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. at-Taubah: 115)
Al-āAini Rhahimahullahļ berkata: Imam Bukhari mengisyaratkan dengan ayat yang mulia ini bahwa memerangi khawarij dan penyeleweng tidak wajib kecuali setelah tegaknya hujjah pada mereka dan menampakkan kebatilan dalildalil mereka. Dalilnya adalah ayat ini, di mana ayat ini menunjukkan bahwa Allah tidak menyiksa hamba-Nya sehingga menjelaskan kepada mereka apa yang harus mereka kerjakan dan apa yang harus mereka tinggalkan. *Umdatul Qari 24/84*
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rhahimahullahļ berkata: Adapun takfir (menganggap kafir), ini termasuk ancaman yang keras. Memang barangkali seseorang melakukan perbuatan kufur, tetapi pelakunya bisa jadi baru masuk Islam, atau hidup di perkampungan yang jauh dari agama, maka orang seperti ini tidak dapat dikafirkan sehingga tegak hujjah atasnya, atau bisa jadi orang tersebut belum mendengar nash-nash, atau mendengarnya tetapi masih rancu, maka orang seperti ini sama seperti yang di atas, sekalipun dia salah.
Dan seringkali aku mengingatkan saudara-saudaraku dengan hadits Bukhari-Muslim tentang seorang yang mengatakan: āJika aku telah meninggal maka bakarlah aku, kemudian tumbuklah halushalus, lalu buanglah ke lautan. Kalau memang Allah ļ Subhanahu wa ta'ala membangkitkanku, maka Dia akan menyiksaku dengan siksaan yang tidak pernah ada di alam ini.ā Akhirnya mereka pun melaksanakan wasiat tersebut. Tatkala Allah ļ membangkitkannya, Allah Subhanahu wa ta'alaļ bertanya kepadanya: āApa yang membuatmu melakukan ini?ā Jawabnya: āAku takut kepada-Mu.ā Lantas Allah Subhanahu wa ta'ala mengampuninya. *HR. Bukhari: 6481 dan Muslim: 2756*
Lihatlah orang ini, yang ragu akan kemampuan Allah dan kebangkitan manusia setelah mati bahkan ia meyakini bahwa dia tidak akan dibangkitkan, jelas ini merupakan kekufuran dengan kesepakatan kaum muslimin, tapi dia jahil atau bodoh, tidak mengetahui hal itu dan dia takut siksaan Allah Subhanahu wa ta'alaļ , maka Allah pun mengampuninya. *Majmuā Fatawa 3/229ā231*
E. Harus Dibedakan Antara Pengkafiran Secara Umum dan Secara Individu
Pengkafiran secara umum adalah menghukumi suatu perkataan atau perbuatan dengan kekufuran dan menghukumi pelakunya dengan kufur secara umum tanpa vonis individu orang, seperti mengatakan: āBarang siapa mengatakan al-Qurāan makhluk maka kafir.ā
Adapun pengkafiran secara khusus adalah menghukumi seseorang yang mengatakan atau melakukan kekufuran dengan kafir, seperti mengatakan: āSi fulan (nama orang tertentu, Edt.) yang mengatakan alQurāan makhluk adalah kafir.ā
Termasuk kaidah dalam takfir adalah membedakan antara takfir secara umum dan takfir secara khusus karena tidak semua orang yang mengatakan atau melakukan kafir pasti dia kafir disebabkan adanya beberapa penghalang atau tidak terpenuhinya beberapa syarat pada dirinya, seperti kalau dia baru masuk Islam atau tidak mengerti hukumnya dan lain sebagainya. *Lihat secara luas dalam Dhawabith Takfir al-Muāayyan oleh Dr. Abdullah bin Abdul Aziz al-Jibrin.*
Di antara dalil yang membuktikan kaidah ini adalah kisah Muadz bin Jabal Rhadiallahu 'anhuļ tatkala ada beberapa gadis kecil yang menabuh rebana dan mengingat ayah-ayah mereka yang meninggal pada Perang Badar, tiba-tiba ada seorang di antara mereka mengatakan: āDi tengahtengah kita ada seorang Nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi esok hari.ā Mendengar hal itu, maka Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallamļ bersabda: āTinggalkanlah ini, katakanlah yang lain saja seperti tadi.ā *HR. Bukhari: 5147.*
Perhatikanlah hadits ini, Nabi ļShalallahu 'alaihi wa sallam tidak mengkafirkan gadis tersebut karena kejahilannya, beliau hanya melarangnya saja, padahal kita tahu semua bahwa mengatakan akan adanya selain Allah yang mengetahui ilmu ghaib adalah suatu kekufuran. *Lihat Ahkamul Qurāan 2/259 oleh Ibnul Arabi*
Sungguh, ini kaidah yang amat sangat penting, banyak orang tidak memahaminya, sehingga tak aneh kalau mereka terjatuh dalam kesalahan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rhahimahullahļ berkata: Barang siapa yang tidak memperhatikan perbedaan antara mengkafirkan secara umum dan taāyin (vonis perorangan) niscaya dia akan jatuh dalam banyak ketimpangan, dia menyangka bahwa ucapan salaf: āBarang siapa yang mengatakan seperti ini kafirā atau āBarang siapa yang melakukan ini maka kafirā mencakup semua orang yang mengatakannya tanpa dia renungi terlebih dahulu, sebab mengkafirkan itu memiliki syarat-syarat dan penghalang pada hukum perorangan, jadi mengkafirkan secara umum tidak mengharuskan mengkafirkan secara individu orang kecuali apabila terpenuhi persyaratannya dan hilang segala penghalangnya. *Majmuā Fatawa 12/489*
Barang siapa yang memperhatikan sirah ulama salaf, niscaya dia akan mengetahui kebenaran kaidah ini dan mengetahui bahwa mereka di atas kebenaran. Dan sungguh menakjubkanku ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ļ: Saya sering mengatakan kepada kaum Jahmiyyah dari Hululiyyah yang mengingkari ketinggian Allah Subhanahu wa ta'alaļ di atas langit: āSaya kalau menyetujui kalian, maka saya kafir karena saya mengetahui bahwa pendapat kalian ini adalah kekufuran, sedangkan kalian menurutku tidak kafir karena kalian adalah orang-orang bodoh.ā *Ar-Radd āala al-Bakri hlm. 47*
Jangan lupa dukung kami dengan cara share & like atau belanja buku dan produk lainnya di :
MOESLIM BOOK CENTRALŲ¬ŁŲ²ŁŲ§ŁŁŁ Ł Ų§ŁŁŁŁ Ų®ŁŁŁŲ±ŁŲ§ ŁŁŲ«ŁŁŁŲ±ŁŲ§ ŁŁŲ¬ŁŲ²ŁŲ§ŁŁŁ Ł Ų§ŁŁŁŁ Ų§ŁŲŁŲ³ŁŁŁ Ų§ŁŁŲ¬ŁŲ²ŁŲ§Ų”




Komentar