5 MASALAH PENTING SEPUTAR SHALAT (9)
- Muhammad Basyaib
- 6 Mar 2021
- 4 menit membaca
Diperbarui: 9 Mar 2021

Penulis: Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi
Dipublish: Moeslim Book Central
FIQIH SHALAT MUSAFIR
Sesungguhnya safar merupakan kebutuhan penting dalam kehidupan manusia. Hampir semua kita tidak lepas darinya. Mengingat begitu pentingnya, maka Islam sebagai agama yang sempurna tidak lalai untuk mengaturnya, baik dari segi adab dan hukum ibadah seputarnya. Hanya saja amat disayangkan, kebanyakan kaum muslimin sekarang tidak mengetahui tatanan syari’at tersebut. Lihatlah, entah betapa banyak diantara kaum muslimin sekarang yang melalaikan shalatnya ketika safar! Tata cara berthoharah sangat samar bagi mereka! Jama’ dan qoshor shalat begitu asing bagi mereka! Dan seterusnya!
Dari situlah, hati kami terdorong untuk menulis sebuah tulisan ringkas dan jelas seputar shalat bagi orang yang safar, dengan harapan jeri payah ini ikhlas hanya mengharapkan pahala dari Allah dan bermanfaat bagi saudara-saudara kami.
DEFENISI SAFAR
Secara bahasa, safar diambil dari kata bahasa Arab ( ) yang berarti nampak. *Mu›jam Maqayis Lughah Ibnu Faris 3/82-83, Taajul Arus az-Zabidi 3/269-272* Disebut demikian karena dia menampakkan wajah asli dan akhlak seorang yang safar. Shadaqoh bin Muhammad berkata: “Safar merupakan timbangan seorang, disebut safar karena dia menampakkan akhlak seseorang.” *al-Jami› li Akhlak Rawi wa Adab Sami, al-Khathib al-Baghdadi 1793 dan Tarikh Umar bin Khothob hlm. 242 oleh Ibnul Jauzi.*
Diceritakan, bahwa ada seorang pernah berkata kepada Umar bin Khaththab: “Sesungguhnya si fulan adalah orang yang jujur”. Maka Umar bertanya padanya: Apakah kamu pernah safar bersamanya? Jawabnya: Tidak. Pernahkah ada hubungan bisnis dengannya? Jawabanya: Tidak. Pernahkah kamu memberikan kepercayaan padanya? Jawabnya: Tidak. Kata Umar selanjutnya: Berarti kamu tidak mengerti tentangnya. *al-Mujalasah wa Jawahirul Ilmi no. 708 ad-Dinawari*
Adapun secara istilah, ucapan para ahli fiqih sepakat bahwa safar adalah menempuh perjalanan yang merubah hukum dengan niat safar. *Anisul Fuqaha, Syaikh Qasim al-Qunuwi hal. 108, Al-Musafir wa Maa Yakhtashu Bihi Min Ahkamil Ibadat, Dr. Ahmad bin Abdur Rozzaq al-Kubaisi hal. 10*
Jadi, safar adalah seorang meninggalkan kampungnya menuju suatu tempat yang memakan perjalanan sehingga menjadikannya boleh untuk mengambil keringanan-keringanan syari’at bagi orang safar. *Ahkam Tho’iroh, Dr. Hasan bin Salim al-Buraiki hal. 35*
BATASAN JARAK SAFAR
Ketahuilah wahai saudaraku -semoga Allah merahamtimu- bahwa masalah ini merupakan masalah yang dipersilisihkan oleh para ulama secara panjang, sampai-sampai Ibnul Mundzir menceritakan sekitar dua puluh pendapat tentangnya *Fathul Bari, Ibnu Hajar 3/275*.
Misalnya ada yang berpendapat jaraka safar adalah apabila menempuh perjalanan selama tiga hari, ada yang berpendapat dua hari. Ada juga berpendapat dengan jarak seperti 84 mil, 46 mil, 45 mil dan 40 mil. Dan semua pendapat di atas diriwayatkan dari Imam Malik *Lihat Al-Mudawwanah 1/246 dan An-Nawadir wa Ziyadat 1/423.*.
Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi mengomentari batasanbatasan dari para imam tersebut: “Saya tidak mendapati hujjah pendapat para imam tersebut”. *Al-Mughni 3/108.* Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkomentar: “Benar apa yang dikatakan oleh Abu Muhammad (Ibnu Qudamah) karena pembatasan tersebut tidak ditetapkan berdasarkan nash, ijma’ ataupun qiyas”. *Qoidah fil Ahkam al-Lati Takhtalifu bi Safar wal Iqomah hlm. 62 oleh Ibnu Taimiyyah, tahqiq Faros bin Kholil.*
Pendapat yang kuat dalam masalah ini -insya Allah- bahwa tidak ada jarak tertentu dalam safar, tetapi hal itu dikembalikan kepada ‘urf masyarakat masing-masing, apabila mereka menilainya bahwa jarak tertentu termasuk safar maka hukumnya adalah safar dan jika tidak maka tidaklah disebut safar. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah Subhanahu wa ta'ala: Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqasar shalat(mu), (QS. An-Nisa’: 101)
Dalam ayat ini Allah Azza wa jalla memutlakkan kata safar dan tidak membatasinya dengan jarak tertentu. Dalam kaidah ushul fiqih ditegaskan “Sesuatu yang mutlak tetap dibawa kepada kemutlakannya hingga ada dalil yang memalingkannya”. *Lihat Majmu Fatawa 24/13 oleh Ibnu Taimiyyah, Al-Faqih wal Mutafaqiih 1/111 oleh al-Baghdadi, al-Ushul Min Ilmil Ushul hal.44 oleh Ibnu Utsaimin, Ma’alim Ushul Fiqih hlm. 438 oleh al-Jizani.*
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata: “Setiap nama yang tidak ada batas tertentu dalam bahasa maupun syari’at maka dikembalikan kepada ‘uruf. Oleh karenanya, jarak yang dinilai oleh manusia bahwa hal itu adalah safar maka itulah safar yang dimaksud oleh syari’at”. *Qoidah fil Ahkam al-Lati Takhtalifu bi Safar wal Iqomah hlm. 67 dan Al-Qowaid anNuroniyyah hlm. 162-163 oleh Ibnu Taimiyyah.*
Ibnul Qayyim al-Jauziyyah Rahimahullah juga berkata: “Nabi tidak membatasi kepada umatnya batasan tertentu tentang jarak safar untuk menqoshor shalat dan bolehnya berbuka puasa, tetapi beliau mengungkapkan kata safar secara mutlak kepada mereka, sebagaimana Allah memutlakkan tayammum pada setiap safar. Adapun riwayat yang menyebutkan batas-batas tertentu dengan sehari, dua hari, tiga hari, maka tidak ada satupun yang shahih dari Nabi”. *aadul Ma’ad 1/189*
Pendapat yang kami kemukakan di atas adalah pendapat yang kuat, adapun pendapat-pendapat lainnya yang memberikan batasan-batasan tertentu maka lemah sekali ditinjau dari beberapa segi:
1. Batasan-batasan tersebut menyelisihi keumuman ayat AlQur’an dan perbuatan Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam
2. Pembatasan-pembatasan tersebut tidaklah berlandaskan dalil yang kuat dan jelas, tetapi hanya berdasar pada pendapat semata `
3. Kalaulah memang safar memiliki batas tertentu, niscaya akan dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya dengan sejelas-jelasnya karena hal itu merupakan kebutuhan umat yang mendesak
4. Pembatasan-pembatasan tersebut mengharuskan manusia untuk mengetahui jarak jalan yang mereka lalui. Sungguh, ini adalah beban berat bagi mayoritas manusia, terlebih pada jalan-jalan yang tidak dilalui manusia!!
5. Pendapat bahwa safar tanpa batas tertentu menunjukkan kehebatan Al-Qur’an yang sesuai dengan perubahan zaman. *Lihat Al-Mughni Ibnu Qudamah 3/108-109, Al- Muhalla Ibnu Hazm 3/212-215, Silsilah Ahadits Ash-Shahihah al-Albani 1/3307-311*
Dan jika seorang ragu-ragu apakah jarak perjalanan sudah dianggap safar ataukah belum secara ‘urf maka hukum asalnya adalah menyempunakan sampai jelas baginya bahwa itu adalah safar. *Syarhul Mumti’ 3/351 oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.* Wallahu A’lam.
Jangan lupa dukung kami dengan cara share & like atau belanja buku dan produk lainnya di :
MOESLIM BOOK CENTRALجَزَاكُمُ اللهُ خَيْرًا كَثِيْرًا وَجَزَاكُمُ اللهُ اَحْسَنَ الْجَزَاء

Komentar