5 MASALAH PENTING SEPUTAR SHALAT (10)
- Muhammad Basyaib
- 6 Mar 2021
- 5 menit membaca
Diperbarui: 9 Mar 2021

Penulis: Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi
Dipublish: Moeslim Book Central
BATAS LAMANYA SAFAR
Ketahuilah wahai saudaraku -semoga Allah merahamatimu- bahwa masalah ini juga merupakan masalah yang dipersilisihkan oleh para ulama secara panjang, sampai-sampai al-Aini menceritakan sekitar dua puluh pendapat tentangnya *Umdatul Qori 7/115*.
Namun sayangnya, kebanyakan pendapat tersebut tidaklah berdasarkan dalil yang kuat dan jelas *Lihat pendapat-pendapat tersebut beserta tanggapannya dalam risalah Haddul Iqomah al-Ladhi Tantahi bihi Ahkamu Safar oleh Syaikh Sulaiman bin Abdillah bin Nashir al-Majid, cet Dar Thoibah.*. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: āBarangsiapa yang membatasi safar dengan batasan hari tertentu baik tiga hari, empat hari *Inilah yang masyhur dalam madzhab Malik dan syafiāi. Lihat Al-Kaafi Ibnu Abdil Barr 1/245 dan Al-Majmuā 4/364 oleh an-Nawawi.*, sepuluh hari, dua belas hari atau lima belas hari *Ini merupakan madzhab Hanafiyyah. Lihat Badai Shonaiā 1/97 oleh al-Kasani*, maka dia telah berpendapat dengan suatu pendapat yang tidak ada dalilnya secara syarāi dan itu adalah pembatasan yang kontradiktifā. *Qoidah fil Ahkam al-Lati Takhtalifu bi Safar wal Iqomah hlm. 232 oleh Ibnu Taimiyyah, tahqiq Faros bin Kholil.*
Pendapat yang kami yakini dalam masalah ini juga sama seperti masalah sebelumnya bahwa tidak ada batas watu tertentu, tetapi hal itu dikembalikan kepada āurf masyarakat. Hal ini sesuai dengan kaidah yang diletakkan oleh para ulama dalam masalah seperti ini, sebab mereka mengatakan āSetiap nama yang tidak ada batas tertentu dalam bahasa maupun syariāat maka dikembalikan kepada āurufā. *Lihat Al-Muwafaqot 4/24 oleh asy-Syathibi, Majmu Fatawa 7/9, 24/40, Al-Furuq 3/283 oleh al-Qorofi, Mughnil Muhtaj 2/365 oleh asy-Syarbini, al-Asybah wa Nadhoir 1/98 oleh as-Suyuthi*
Ketahuilah wahai saudaraku bahwa orang yang asing dari kampungnya memiliki tiga keadaan:
Pertama: Orang yang berniat untuk tinggal selama-lamanya di sana, mereka bertekad untuk tidak akan kembali ke kampung halaman kecuali apabila ada sebab yang mengharuskan hal itu, seperti orang kedutaan negara. Hukum golongan ini adalah hukum muqim yang berkewajiban untuk puasa Ramadhan, shalat secara sempurna tanpa qoshor dan sebagainya.
Kedua: Orang yang berniat tinggal sementara untuk suatu keperluan tanpa membatasi waktu karena dia tidak tahu kapan urusannya selesai, kapan saja urusannya selesai maka dia akan pulang ke kampungnya, seperti orang yang datang untuk menyelesaikan suatu urusan yang dia tidak tahu kapan selesainya. Hukum golongan ini adalah musafir sekalipun bertahun-tahun lamanya. Demikian pendapat mayoritas ulama, bahkan Ibnul Mundzir menceritakan ijmaā (kesepakatan ulama) tentangnya.
Ketiga: Orang yang berniat tinggal sementara untuk suatu keperluan dengan membatasi waktu karena dia tahu kapan urusannya akan selesai, kapan saja urusannya selesai maka dia akan pulang, seperti para pelajar yang tinggal di tempat jauh. Masalah ini diperselisihkan ulama, mayoritas mereka mengatakan bahwa golongan ini bukan musafir lagi. Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa mereka tetap disebut musafir selagi dia tidak niat muqim selama-lamanya sampai dia pulang ke kampungnya.
Syaikhul Islam Rahimahullah berkata: āBarangsiapa membatasi batasan hari tertentu baik tiga hari, empat hari, sepuluh hari, dua belas hari, lima belas hari maka sesungguhnya dia mengatakan suatu perkataan yang tidak berdasar pada dalilā. *Majmu Fatawa 24/237* Beliau juga berkata: āShalat diqoshor pada setiap safar, baik sebentar maupun lama dan tidak dibatasi dengan batas tertentu, baik dia meniatkan lebih dari empat hari ataupun tidak. Hal ini diriwayatkan dari sejumlah sahabatā. *Al-Ikhtiyarat hal. 72-73*
Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnul Qayyim al-Jauziyyah *Zaadul Maāad, Ibnu Qayyim 3/29*, Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab *Ad-Durar As-Saniyyah 4/372 *, Muhammad Rasyid Ridho *Fatawa Rasyid Ridho 3/1180*, Abdur Rahman as-Saādi *Al-Mukhtarat Al-Jaliyyah hal. 47*, Syaikh al-Albani *Sebagaimana hal ini disampaikan oleh Syaikhuna Masyhur bin Hasan Alu Salman kepada penulis saat kami menanyakan kepada beliau tentang pendapat Syaikh alAlbani seputar masalah ini. *, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin *Majmu Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin 15/288-294* dan lain sebagainya. Pendapat ini sesuai dengan Al-Qurāan, sunnah, atsar sahabat, dan qiyas. *Lihat masalah ini secara luas dalam Majmu Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin 15/288-294 dan risalah Haddul Iqomah al-Ladhi Tantahi bihi Ahkamu Safar oleh Syaikh Sulaiman bin Abdillah bin Nashir al-Majid, cet Dar Thoibah.*
(Perhatian Penting):
Dua masalah ini (jarak dan masa safar) merupakan masalah fiqih yang diperselisihkan ulama *Alangkah bagusnya ucapan Qotadah: āBarangsiapa yang tidak mengetahui perselisihan ulama, maka hidungnya belum mencium bau fiqihā. (Jamiā Bayanil Ilmi, Ibnu Abdil Barr 2/814-815)*. Oleh karena itu hendaknya kita berlapang dada dalam masalah ini dan menghormati saudara kita yang tidak sependapat dengan kita tanpa harus saling menghujat dan mencela sehingga menyulut api perselisihan. Alangkah indahnya ucapan Imam Syafiāi kepada Yunus ash-Shadafi: āWahai Abu Musa, Apakah kita tidak bisa untuk tetap bersahabat sekalipun kita tidak bersepakat dalam suatu masalah?!ā. *Dikeluarkan oleh adz-Dzahabi dalam Siyar Aālam Nubala 10/16, lalu berkomentar: āHal ini menunjukkan kesempurnaan akal imam Syafiāi dan kelonggaran hatinya, karena memang para ulama senantiasa berselisih pendapatā.* Sekalipun hal ini tidak menutup pintu dialog ilmiyah yang penuh adab untuk mencari kebenaran dan pendapat terkuat.
PANDUAN SHALAT MUSAFIR
Allah memberi kemudahan bagi para musafir untuk berbuka dan mengqoshor shalat. Hal ini termasuk kesempurnaan hikmah pembuat syariat ini. karena safar itu sendiri adalah adzab, penuh dengan kelelahan dan kesukaran. Maka termasuk kemurahan dan kebaikan Allah kepada para hamba-Nya adalah memberi keringanan kepada mereka dengan setengah shalat. Demikian pula Allah memberi keringanan dalam puasa wajib ketika safar. *Iālamul Muwaqqin 3/360*
Berikut penjelasan singkat panduan untuk shalat bagi musafir. Semoga bermanfaat.
1. QOSHOR SHALAT
Meringkas shalat (qoshor) yang empat rakaāat menjadi dua rakaāat ketika safar *Sebagian ulama menyebutkan bahwa qoshor itu ada dua macam: Pertama: Meringkas bilangan dan gerakan yaitu apabila terkumpul pada saat safar dan khouf/takut. Kedua: Meringkas bilangan saja jika hanya safar atau meringkas gerakan saja jika kondisi takut yang mencekam. (Majmu Fatawa 24/20 dan Zadul Maāad 1/529)* adalah disyariāatkan. Dalil-dalil tentang masalah ini diantaranya:
Allah Azza wa jalla berfirman: Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqasar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu musuh yang nyata bagimu. (QS. an-Nisa: 101).
Aisyah Radiallahu 'anha berkata: Pertama kali shalat diwajibkan adalah dua rakaāat, maka tetaplah shalat musafir dua rakaāat, dan shalat orang yang mukim (menetap) sempurna (empat rakaāat). *HR. Bukhari 1090, Muslim 685*
Syaikh Muhammad Amin asy-Syinqithi Rahimahullah mengatakan:āPara ulama bersepakat atas disyariatkannya mengqoshor shalat empat rakaāat ketika safar *Imam Ibnul Mundzir telah menukil ijmaā ulama tentang disyariāatkannya qoshor bagi orang musafir ketaatan seperti haji atau jihad sehingga shalat dzhuhur, ashar dan isya, masing-masing dua rakaāat. (Al-Ijmaā hlm. 46 dan Al-Isyrof āala Madzahibil Ulama 2/193*, berbeda dengan orang-orang yang mengatakan bahwa tidak ada qoshor kecuali ketika haji, umroh atau ketika keadaan mencekam, sesungguhnya perkataan seperti ini tidak ada dasarnya menurut ahli ilmuā. *Adwaaul Bayan 1/265 oleh asy-Syinqithi*
Dan para ulama ulama berselisih tentang hukumnya apakah wajib atau sunnah? Jumhur (mayoritas) ulama mengatakan sunnah tidak wajib tetapi rukhsoh (keringanan). Inilah yang masyhur dari Imam Ahmad dan pendapat Imam Syafiāi dan Malik *Al-Inshof 2/321, Al-Majmuā 4/337, Majmu Fatawa 24/10.*. Sebagian ulama lainnya berpendapat wajibnya qoshor sebagaimana madzab Abu Hanifah dan Zhohiriyyah. *BadaāI ShonaāI 1/463 dan Al-Muhalla 4/264.* Dan sebaiknya bagi musafir untuk tidak meninggalkan qoshor sebab qoshor lebih utama dengan kesepakatan ulama, untuk mengikuti Nabi dan keluar dari perselisihan ulama. *Taudhihul Ahkam 2/533 oleh al-Bassam. *
Jangan lupa dukung kami dengan cara share & like atau belanja buku dan produk lainnya di :
MOESLIM BOOK CENTRALŲ¬ŁŲ²ŁŲ§ŁŁŁ Ł Ų§ŁŁŁŁ Ų®ŁŁŁŲ±ŁŲ§ ŁŁŲ«ŁŁŁŲ±ŁŲ§ ŁŁŲ¬ŁŲ²ŁŲ§ŁŁŁ Ł Ų§ŁŁŁŁ Ų§ŁŲŁŲ³ŁŁŁ Ų§ŁŁŲ¬ŁŲ²ŁŲ§Ų”

Komentar